Jakarta – Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menegaskan bahwa masa depan Indonesia hanya dapat dibangun kuat jika kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha dipandang sebagai satu ekosistem yang saling mendukung. Ia menilai sejumlah persoalan struktural masih membayangi pasar tenaga kerja nasional, termasuk ketidakseimbangan antara pertumbuhan produktivitas dan kenaikan upah yang melampaui kemampuan banyak industri.
“Terjadi ketimpangan antara kenaikan produktivitas dan kenaikan upah. Ketidakselarasan ini menimbulkan tekanan struktural bagi pelaku usaha,” ujar Bob dalam acara Economic and Labour Insight 2025 di Jakarta, Jumat (28/11/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut memicu berbagai langkah tidak ideal di lapangan, mulai dari efisiensi berlebihan, penurunan kapasitas produksi, hingga relokasi perusahaan ke negara yang lebih kompetitif.
Bob juga menyoroti kejanggalan pada Cash Index atau rasio upah minimum terhadap upah rata-rata. Secara umum, indeks ini berada pada level 0,6, namun di Indonesia justru melampaui angka 1. “Upah minimum kita lebih tinggi dari upah rata-rata. Ini menunjukkan struktur yang tidak normal, seperti piramida terbalik,” jelasnya.
Situasi itu disebut berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja formal dan mendorong pergeseran besar menuju sektor informal.
Tantangan lain yang muncul adalah semakin dominannya pekerja informal yang kini mencapai 60% dari total angkatan kerja, sebuah tren yang mencerminkan minimnya perlindungan kerja bagi sebagian besar tenaga kerja.
Hingga Oktober 2025, tercatat 177.000 pencari kerja mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) akibat PHK. “Angka ini menggambarkan tekanan berat yang dihadapi pekerja formal saat ini,” tambah Bob.

