Jakarta – Rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) hingga 15% menuai sorotan. Kenaikan tersebut dinilai bukan solusi utama untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Bahkan, kebijakan ini justru dianggap lebih menguntungkan pihak aplikator, sementara para pengemudi berisiko tetap merugi.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta, Yusa C Permana, menilai bahwa kenaikan tarif ojol bukanlah jalan keluar yang tepat. Menurutnya, yang lebih dibutuhkan saat ini adalah regulasi yang jelas mengenai kedudukan ojek online sebagai moda transportasi berbasis aplikasi.
“Kalau dilihat dari sisi inflasi dan naiknya biaya hidup, memang kenaikan tarif bisa dianggap wajar karena berkaitan langsung dengan penghasilan pengemudi. Tapi persoalannya bukan cuma soal tarif, yang lebih penting adalah kejelasan status angkutan berbasis aplikasi ini,” ujar Yusa dalam Investor Daily Talk, Senin (07/07).
Yusa menjelaskan bahwa ketidakjelasan posisi hukum ojek online turut berdampak pada keseimbangan antara jumlah pengemudi dan permintaan konsumen. Dalam kondisi ini, kenaikan tarif belum tentu berdampak positif secara merata.
“Bisa saja pendapatan beberapa pengemudi meningkat, tapi yang lain justru kehilangan pendapatan karena permintaan tidak cukup untuk menutupi jumlah pengemudi yang ada,” jelasnya dikutip dari laman berita satu.
Selain itu, ia menyoroti potensi beban tambahan bagi konsumen. Kenaikan tarif berarti biaya perjalanan lebih mahal, sementara potongan yang diambil oleh aplikator tetap. Hal ini membuat aplikator tetap mendapatkan keuntungan yang stabil, tanpa menanggung dampak langsung dari kenaikan harga.
“Ini soal keadilan. Angkutan umum konvensional diatur dari sisi jumlah armada dan tarif, tapi ojek online dilepas begitu saja. Harusnya ada pengaturan soal suplai dan demand juga,” tambah Yusa.
Regulasi Tarif Berdasarkan Zona
Sebagai informasi, pengaturan tarif ojol saat ini masih mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022, yang membagi wilayah operasional menjadi tiga zona:
- Zona 1: Sumatera, Jawa (di luar Jabodetabek), dan Bali, dengan tarif Rp1.850–2.300 per km
- Zona 2: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), dengan tarif Rp2.600–2.700 per km
- Zona 3: Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dengan tarif Rp2.100–2.600 per km
Sementara itu, Sesditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, menegaskan bahwa hingga kini belum ada keputusan final mengenai kenaikan tarif. Pemerintah masih mengkaji berbagai aspek agar kebijakan yang diambil nantinya dapat mengakomodasi semua pihak, termasuk masyarakat, pengemudi, dan aplikator.
Menurutnya, penentuan besaran tarif nantinya akan melibatkan diskusi dengan berbagai pihak, mulai dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), perusahaan aplikator, hingga perwakilan pengemudi.
“Harapannya, kajian ini bisa melahirkan solusi yang adil. Jangan sampai tarif naik terlalu tinggi dan justru menurunkan minat masyarakat menggunakan ojol,” tutup Ahmad Yani.