34 C
Jakarta
Rabu, Juli 16, 2025
BerandaKATA TEKNOTEKNEWSKetika AI Meniru Kreativitas Seniman, Ancaman atau Peluang?

Ketika AI Meniru Kreativitas Seniman, Ancaman atau Peluang?

Dulu, seni adalah sesuatu yang sakral—lahir dari kedalaman emosi, kegelisahan tengah malam, atau patah hati yang membekas seumur hidup. Ia ditumpahkan ke atas kanvas, disulam menjadi puisi, atau diledakkan lewat denting gitar. Kini? Cukup ketik beberapa kata seperti “kota synthwave di malam hari”, dan sekejap kemudian—lahirlah sebuah karya. Indah. Terkadang luar biasa. Hampir selalu memukau.

Inilah era baru: kreativitas bertenaga kecerdasan buatan. Mesin kini mampu menulis puisi, mencipta simfoni, hingga merancang gambar dalam waktu kurang dari satu kedipan mata. Di satu sisi, ini adalah kemajuan yang luar biasa. Tapi di sisi lain, tidak semua orang menyambutnya dengan tepuk tangan.

Editor gizchina, Abdullah Mustapha menagatkan bahwa seniman, penulis, musisi, dan kreator lainnya kini berdiri di persimpangan yang membingungkan. Di satu arah, AI hadir sebagai alat yang canggih, cepat, dan sangat membantu. Ia dapat mengusir buntu ide, membuat mockup, atau menciptakan draf awal dalam hitungan detik. Namun di arah lain, AI perlahan menggantikan manusia.

Mengapa membayar pekerja lepas, jika AI bisa menulis slogan dalam lima detik? Mengapa menyewa ilustrator, jika aplikasi mampu meniru gaya mereka secara gratis?

Perbatasan antara inspirasi dan penjiplakan kini semakin kabur. Di titik mana kenyamanan melampaui etika? Tidak ada jawaban pasti.

Yang membuatnya lebih rumit: hasil karya AI terlihat seperti seni. Ia tahu struktur, paham teori warna, dan bisa meniru gaya. Namun ada sesuatu yang hilang. Apakah itu niat? Emosi? Atau jiwa manusia yang kacau tapi jujur?

Barangkali, kita terlalu terpikat pada kesempurnaan. AI tidak pernah ragu. Ia tak mengalami kecemasan. Ia tak perlu waktu berjam-jam untuk memikirkan ulang warna atau menulis ulang satu kalimat dua puluh kali. Tapi justru itulah yang menjadikan seni manusia terasa hidup—karena ia lahir dari ketidaksempurnaan.

Ketika AI Meniru Kreativitas Seniman, Ancaman atau Peluang?

AI dan Era Kreativitas Baru: Kolaborasi atau Kompetisi?

Ironisnya, banyak kreator yang kita kagumi ternyata juga memanfaatkan AI. Tidak semua cerita adalah soal korban dan pelaku. Sebagian penulis menggunakan AI untuk mengasah narasi. Musisi mencoba melodi hasil olahan mesin. Desainer menciptakan variasi desain dengan bantuan AI. Ini adalah bentuk kolaborasi—seperti kita memakai Photoshop atau fitur pemeriksa ejaan.

Maka mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukan lagi: “Apakah seni AI itu seni?”, melainkan “Seperti apa seni saat semua orang menjadi kurator, bukan lagi pencipta?”

Apakah kita sedang menuju masa di mana keahlian tertinggi adalah mampu memberikan perintah terbaik, bukan menciptakan dari nol? Mungkin. Tapi pergeseran ini layak disorot.

Saat AI merasuk ke ruang kreatif, kita mesti bertanya ulang: apa sebenarnya makna orisinalitas? Apakah itu milik orang yang menulis puisi pertama, atau milik mereka yang mengajari mesin untuk menulis puisi yang lebih sempurna?

Untuk saat ini, kreativitas yang sungguh-sungguh—yang berani gagal, penuh luka kejujuran, dan kadang mengejutkan bahkan penciptanya sendiri—masih milik manusia. Tapi batasnya terus bergeser. Cepat.

Dan jika kita tak berhenti sejenak untuk mempertanyakan siapa pemilik jiwa seni, bisa jadi suatu hari kita sadar telah melepaskannya—bukan karena dipaksa, tetapi karena jalan pintas terasa jauh lebih mudah.

Padahal sejak awal, seni memang tak pernah dimaksudkan untuk mudah. Seni itu tidak efisien. Tidak optimal. Terkadang kikuk, sering kali lambat, dan bisa jadi tampak sia-sia. Namun justru karena itulah, seni manusia tetap penting.

Di dunia di mana mesin mampu menciptakan keindahan seketika, kreativitas manusia mungkin bukan lagi soal mencengangkan—melainkan soal mengungkapkan. Menampilkan ketidaksempurnaan, keraguan, dan sisi-sisi yang tak bisa diatur oleh perintah kode. Mungkin itulah satu hal yang tak akan pernah bisa disalin oleh AI: seni untuk menjadi manusia—seutuhnya, dan tanpa penyesalan.

Baca Juga

Indonesia-Uni Eropa Sepakati CEPA, WNI Bisa Dapat Visa Schengen Multi-Enti

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menegaskan komitmen...

Uji Coba Kapal Wisata Diserbu Warga, Layani Rute Muara Angke–Pulau Onrust

Jakarta - Program uji coba kapal lintas wisata yang...

Indonesia-Uni Eropa Perkuat Kemitraan Ekonomi, Sepakati Akselerasi IEU-CEPA

Brussels - Dalam rangka kunjungan kenegaraan ke Belgia, Presiden...

Hapus Halaman Trending, YouTube Tampilkan Daftar Populer Berdasarkan Kategori

YouTube resmi mengumumkan penghapusan halaman Trending dan daftar “Trending...

Simulasi Sekolah Rakyat, Jam Tidur Diatur hingga Tak Boleh Bawa Ponsel

Jakarta - Sebanyak 75 siswa mengikuti simulasi program Sekolah...

Ikuti kami

- Notifikasi berita terupdate

Terkini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini