Cau Chocolates terus memperkuat pendampingan bagi para petani kakao di Bali untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menghasilkan kakao berkualitas tinggi. Hingga kini, perusahaan telah membina sekitar 300–400 hektare lahan milik petani lokal.
CEO Cau Chocolates, I Kadek Surya Prasetya Wiguna, menjelaskan bahwa pihaknya menggandeng 12 gabungan kelompok tani (gapoktan) di Tabanan dan Jembrana. Fokus utama pendampingan adalah penerapan budidaya kakao organik yang tepat sehingga pengelolaan kebun menjadi lebih optimal.
“Pendekatan kami menggunakan sistem loyalty pricing, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menjaga semangat petani agar tetap konsisten bertani,” ujarnya dalam Pers Tour Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian di Tabanan, Bali, Senin (24/11).
Menurut Wiguna, tim Cau Chocolates secara rutin turun ke kebun untuk memberikan bimbingan, baik kepada petani senior maupun generasi muda. Pendampingan meliputi perawatan tanaman hingga pengendalian hama berbasis bahan organik.
“Jika kebun dikelola dengan benar, produktivitas pasti meningkat. Target kami, satu pohon minimal menghasilkan dua kilogram biji kering atau sekitar enam kilogram biji basah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa produktivitas kakao nasional masih relatif rendah, sekitar 600 kilogram per hektare per tahun. Padahal dengan benih unggul dan perawatan tepat, hasil panen dapat meningkat hingga dua ton per hektare.
Melansir dari laman infopublik, di kebun percontohan Cau Chocolates, produktivitas sudah mencapai 1,5–1,7 ton per hektare per tahun. Dengan harga kakao sekitar Rp100.000 per kilogram, petani berpeluang mengantongi pendapatan rata-rata Rp150 juta per hektare per tahun, atau lebih dari Rp10 juta per bulan.
Selain peningkatan produktivitas di tingkat hulu, Cau Chocolates juga memperluas pasar luar negeri. Sejak mulai ekspor pada 2021, produk kakao Bali telah dikirim ke Singapura, Malaysia, Qatar, Polandia, dan Australia.
“Pasar terbesar memang Australia. Belum besar, tetapi pertumbuhan cukup baik,” kata Wiguna.
Saat ini, perusahaan tengah membangun pabrik baru dengan kapasitas produksi yang lebih besar, yang ditargetkan mampu memproses hingga dua ton per hari. Meski melakukan ekspansi, Cau Chocolates tetap mempertahankan harga beli yang adil bagi petani.
Walaupun harga kakao dunia turun ke kisaran Rp85.000 per kilogram, perusahaan tetap membeli minimal Rp100.000 per kilogram.
“Harga bagus harus disertai kualitas yang baik. Petani loyal kami menghasilkan mutu tinggi sehingga kakao Bali mendapat pengakuan internasional,” tegas Wiguna.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Kakao Utama, I Gede Eka Aryasa, mengungkapkan bahwa dalam dua tahun terakhir pendapatan petani meningkat signifikan. Kenaikan harga kakao serta penerapan budidaya yang lebih baik mendorong produktivitas kebun.
“Dulu kami hanya sekitar 500 kilogram per hektare. Kini bisa lebih dari satu ton. Bibit unggul, pendampingan pemerintah, dan penyuluhan rutin benar-benar meningkatkan hasil,” tuturnya.
Eka yang mengelola lima hektare lahan menambahkan bahwa meski jarak tanam tidak ideal, produktivitas tetap meningkat.
“Dalam satu hektare jumlah pohonnya kurang dari 700. Jadi hasilnya sekitar 2,5–3 ton per hektare per tahun,” ujarnya.
Ia menyebut harga kakao kering fermentasi saat ini berada di kisaran Rp120 ribu per kilogram, sementara kakao non-organik hanya berselisih sekitar Rp5.000 per kilogram.
Meski demikian, seluruh kakao non-organik yang disetor ke Cau Chocolates tetap merupakan biji berkualitas premium.
“Walaupun selisihnya kecil, standar bijinya tetap standar pabrik. Bukan biji sembarangan. Ke Cau, yang masuk itu biji premium, bukan asal-asalan,” tegasnya.

