Undang-Undang Pengeluaran Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA) terbaru memberikan DJI waktu satu tahun untuk membuktikan bahwa produknya tidak menimbulkan risiko terhadap keamanan nasional di Amerika Serikat (AS). Menurut laporan The Verge, DJI dan pesaingnya, Autel, berpotensi menghadapi larangan pada akhir 2024 berdasarkan ketentuan Undang-Undang Anti-Drone Partai Komunis Tiongkok (PKT). Namun, undang-undang ini memberi DJI tambahan waktu untuk meyakinkan “badan keamanan nasional” sebelum larangan diberlakukan.
Jika DJI gagal memenuhi persyaratan, maka Federal Communications Commission (FCC) diberi wewenang untuk menempatkan drone DJI dalam daftar tertutup pada 2026. Hal ini berarti produk-produk DJI, termasuk drone dan kamera seperti Osmo Pocket 3, akan dilarang untuk diimpor ke AS. Selain itu, produk tersebut tidak akan diizinkan terhubung ke jaringan komunikasi AS, sementara radio internalnya tidak akan mendapatkan sertifikasi dari FCC. Dalam praktiknya, meskipun undang-undang secara teknis melarang penggunaan perangkat DJI yang sudah dimiliki konsumen, otoritas AS diperkirakan tidak akan menghentikan penggunaannya.
Melalui blog Viewpoints, DJI menanggapi bahwa penundaan larangan tersebut adalah “berita baik”. Namun, perusahaan menyebutkan bahwa produk drone yang dibuat di Tiongkok secara khusus ditargetkan untuk penelitian lebih lanjut.
DJI juga menyoroti bahwa undang-undang ini tidak menentukan badan tertentu untuk melakukan studi yang diwajibkan. Hal tersebut, menurut DJI, dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, terutama jika tidak ada badan yang mengambil tanggung jawab tersebut.
DJI tetap bertahan berkat dukungan kuat dari komunitas pengguna drone, termasuk penggemar, pembuat konten, dan organisasi keselamatan publik. Brendan Karr, juru bicara Asosiasi Drone Penegak Hukum, menilai bahwa larangan ini akan berdampak negatif pada operasi keselamatan publik. “Jika RUU ini benar-benar disahkan, potensi larangan terhadap drone Tiongkok akan menjadi bencana besar bagi industri keselamatan publik,” ujarnya dalam surat kepada Kongres.
Meski mendapat dukungan dari komunitas, beberapa perwakilan AS tetap menganggap DJI sebagai ancaman. Elise Stefanik, anggota Partai Republik, menyebut DJI sebagai ancaman yang sebanding dengan TikTok tetapi dalam bentuk “bersayap”. Raja Krishnamoorthi dari Partai Demokrat menambahkan bahwa drone buatan Tiongkok dapat membuka celah bagi PKT untuk mengakses data pengguna Amerika melalui backdoor teknologi, yang dapat digunakan untuk mengawasi warga AS.
Dengan tenggat waktu satu tahun, DJI harus membuktikan bahwa teknologinya aman untuk digunakan di Amerika. Jika gagal, larangan penuh pada 2026 akan menjadi tantangan besar, tidak hanya bagi DJI tetapi juga bagi industri drone di AS yang bergantung pada produk-produknya.