Media Singapura, Channel News Asia, baru-baru ini menyoroti Indonesia sebagai negara dengan jumlah serangan buaya terhadap manusia tertinggi di dunia. Menurut laporan dari The Crocodile Foundation, sebuah organisasi konservasi berbasis di AS, lebih dari 1.000 serangan buaya terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, dengan 486 korban meninggal.
Sorotan ini semakin mengemuka setelah laporan terbaru Channel News Asia pada Jumat (31/1) mengungkap bahwa kerusakan habitat akibat aktivitas tambang ilegal, terutama di Bangka-Belitung, menjadi faktor utama peningkatan konflik antara manusia dan buaya. Bangka-Belitung sendiri merupakan salah satu daerah dengan kasus serangan buaya tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan studi Biological Conservation (April 2023), Bangka-Belitung, bersama Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur, mencatatkan jumlah serangan buaya tertinggi di Indonesia. Data dari Alobi Foundation, organisasi penyelamat satwa liar setempat, menunjukkan bahwa dalam enam tahun terakhir, jumlah korban tewas akibat serangan buaya di Bangka meningkat signifikan, dengan lebih dari 60 kematian sejak 2016, termasuk 10 korban jiwa hingga November 2024.
“Jika dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah serangan dan korban meningkat drastis,” ujar Langka Sani, pendiri Alobi Foundation.
Peningkatan serangan buaya ini tidak lepas dari kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang timah ilegal. “Konflik ini semakin parah karena habitat buaya terus dirusak. Ini seperti bom waktu,” tambah Langka.

Bangka dikenal sebagai penghasil 90% timah nasional, yang menjadi bahan baku utama untuk berbagai perangkat elektronik. Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa perusahaan teknologi global seperti Apple dan Samsung juga mendapatkan pasokan timah dari Bangka.
Selama bertahun-tahun, penambangan timah di Bangka dilakukan oleh perusahaan milik negara PT Timah, tetapi selama lebih dari satu dekade, penambangan ilegal merajalela. Penambang skala kecil dapat menambang di area yang diperuntukkan bagi penggunaan lain, seperti kawasan hutan lindung atau konsesi perusahaan yang sedang direklamasi.
“Tambang ilegal ada di belakang sekolah, dekat perkantoran, bahkan di tepi muara yang menjadi habitat buaya,” jelas Langka.
Buaya muara (Crocodylus porosus), yang dapat tumbuh hingga 7 meter dengan berat hampir 1 ton, sangat sensitif terhadap suara. Aktivitas tambang yang bising memaksa mereka bermigrasi atau menjadi lebih agresif.
“Mereka bisa menyerang penambang atau pindah ke daerah baru. Namun, jika habitat baru tersebut sudah ditempati buaya lain, mereka akan bertarung memperebutkan wilayah,” papar Langka.
Selain merusak habitat buaya, penambangan ilegal juga merusak ekosistem sungai di Bangka. Saat ini, Bangka memiliki 97 sungai yang mengalir melalui desa dan kota, termasuk Pangkalpinang. Aktivitas dredging (pengerukan) dalam penambangan membuat air sungai keruh dan berlumpur, sehingga warga kesulitan mendeteksi keberadaan buaya yang bersembunyi di dalamnya. Selain itu, sedimentasi akibat tambang mengurangi aliran sungai, yang berdampak pada ekosistem pesisir.
Kerusakan terumbu karang dan penurunan populasi ikan, kepiting, serta udang membuat buaya kehilangan sumber makanan alaminya. “Buaya sebenarnya tidak memangsa manusia. Namun, ketika mereka kelaparan, mereka terpaksa mencari sumber makanan lain,” kata Langka.
“Serangan ini bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan, bukan sekadar upaya mencari makanan,” tambahnya, menjelaskan mengapa Indonesia menjadi negara dengan tingkat serangan buaya tertinggi di dunia.
Dengan kondisi ini, upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan mengendalikan aktivitas tambang ilegal menjadi kunci untuk mengurangi konflik antara manusia dan buaya di masa depan.