Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa sebanyak 300 terpidana mati masih belum dieksekusi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Sebagian besar keterlambatan ini disebabkan oleh faktor diplomasi dengan negara asal terpidana, khususnya yang berstatus warga negara asing (WNA).
Menurut Yusril, eksekusi hukuman mati kerap berhubungan dengan hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara asal para terpidana. Oleh karena itu, keputusan pelaksanaan eksekusi biasanya memerlukan pertimbangan dari Presiden.
“Persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan dan lain-lain, orang mengajukan grasi dan lain-lain kepada presiden, akibatnya banyak sekali pelaksanaan hukuman mati itu yang tertunda pelaksanaannya,” ujar Yusril dalam keterangan tertulis, pada Kamis (06/02)
Menanggapi situasi ini, Yusril menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait eksekusi mati, terutama yang melibatkan WNA. Kejaksaan Agung sendiri memiliki kewenangan dalam mengeksekusi narapidana yang dijatuhi hukuman mati.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, pemerintah Indonesia memilih untuk memulangkan terpidana mati WNA ke negara asalnya. Sebagai contoh, kasus Mary Jane Veloso dari Filipina dan Serge Areski Atlaoui dari Prancis yang akhirnya dikembalikan ke negara mereka. Sebelum pemindahan tersebut, Yusril mengirimkan surat kepada Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin, yang menyatakan bahwa keputusan pemulangan para terpidana diambil atas persetujuan dan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
“Karena pada akhirnya mengenai pertimbangan narapidana dieksekusi mati atau tidak maupun dilakukan transfer of prisoner ke negara asalnya, semuanya merupakan arahan dari Pak Presiden sendiri,” jelas Yusril.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Rabu (05/02) menyampaikan bahwa dari 300 terpidana mati, sebagian besar merupakan WNA yang terlibat dalam kasus narkotika. Para terpidana tersebut berasal dari berbagai negara, termasuk Eropa, Amerika, dan Nigeria. Kejaksaan Agung saat ini bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk menyelesaikan berbagai kendala dalam pelaksanaan hukuman mati ini, termasuk persoalan diplomatik.
“Kami pernah beberapa kali bicara, waktu itu menteri luar negerinya masih Ibu (Retno Marsudi, red.). Dia mengungkapkan kalau mereka masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota ini. Tolong jangan dahulu, anti kami akan diserangnya nanti,” ungkap Burhanuddin.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan konsekuensi terhadap WNI yang menjadi terpidana di luar negeri. Burhanuddin menegaskan bahwa isu ini cukup kompleks karena pelaksanaan hukuman mati terhadap WNA dapat berdampak pada perlakuan terhadap WNI yang menghadapi hukuman serupa di negara lain.
“Jadi, memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,” pungkas Burhanuddin.