Jakarta – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda), untuk menjaga keseimbangan ekosistem dengan menertibkan alih fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan hutan.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana banjir yang kerap terjadi di berbagai wilayah, terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Kawasan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air justru banyak dialihfungsikan menjadi pemukiman dan bangunan komersial. Hal ini meningkatkan risiko banjir dan longsor,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Januanto, dalam keterangannya di kantor Kementerian Kehutanan, Jakarta, Kamis (20/3).
Ia mengungkapkan bahwa alih fungsi lahan di hulu DAS Ciliwung, DAS Kali Bekasi, DAS Cisadane, dan sekitarnya terjadi secara masif, menyebabkan terganggunya fungsi daerah tersebut dalam mengendalikan tata air.
Sebagai langkah konkret, Kemenhut telah berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk melakukan penertiban lahan di wilayah hulu DAS. Operasi ini menyasar daerah seperti Kabupaten Bogor, Kecamatan Cisarua, kawasan Sentul, serta Jonggol.
“Operasi penertiban dilakukan pada 9-11 Maret 2025 di Kabupaten Bogor, kemudian dilanjutkan pada 17-19 Maret 2025 di sepanjang DAS Cisadane,” jelasnya.
Hasil operasi tersebut menemukan banyak bangunan ilegal di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan konservasi. Kemenhut telah memasang papan pengawasan di 50 titik serta mengumpulkan keterangan dari pemilik bangunan dan pelaku usaha yang diduga melanggar aturan.
Januanto menegaskan bahwa Kemenhut berkomitmen untuk menjaga kelestarian hutan dan menekan pelanggaran yang merusak ekosistem. Sinergi antara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menjadi kunci dalam upaya pencegahan bencana hidrometeorologi di masa depan.
Dirjen Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH), Dyah Murtiningsih, menjelaskan bahwa kajian menunjukkan banjir terjadi akibat perubahan fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi area terbangun, terutama di Areal Penggunaan Lain (APL).
“Alih fungsi ini menyebabkan hilangnya daerah resapan air, sehingga limpasan air meningkat saat curah hujan tinggi,” jelasnya.
Selain itu, Dyah menyoroti buruknya sistem drainase di empat DAS utama, yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Bekasi, dan DAS Angke Pesanggrahan. Ia mencontohkan, alur sungai yang seharusnya memiliki lebar 11 meter di DAS Ciliwung kini menyempit menjadi hanya tiga meter akibat pemukiman di sekitarnya.
Sebagai langkah pencegahan, Kemenhut akan melakukan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) melalui penanaman vegetasi serta membangun infrastruktur konservasi tanah dan air, seperti dam pengendali dan dam penahan.
Untuk wilayah APL dengan topografi curam, Kemenhut akan menerapkan teknik RHL menggunakan tanaman vegetatif dan struktur sipil teknis. Upaya ini akan didukung dengan penyediaan bibit dari Persemaian Rumpin agar bisa digunakan baik di dalam maupun luar kawasan hutan.
Selain itu, Kemenhut mengusulkan perbaikan sistem drainase di pemukiman, pembangunan sumur resapan dan biopori, serta revisi tata ruang di wilayah berbukit untuk mempertahankan fungsi lindungnya.
“Ini momentum yang tepat bagi semua pihak untuk bersinergi dalam menangani bencana hidrometeorologi serta menyusun langkah-langkah strategis ke depan,” pungkas Dyah.