Jakarta – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan penyebab maraknya kasus perundungan di lingkungan pendidikan dokter spesialis (PPDS). Menurutnya, sistem senioritas yang terlalu dominan dan minimnya keterlibatan dosen dalam proses pembelajaran menjadi pemicu utama.
“Perundungan terjadi karena proses belajar lebih banyak diambil alih oleh senior, bukan dosen yang seharusnya mengajar,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada Selasa (29/4).
Budi menjelaskan bahwa banyak dosen sibuk praktik di rumah sakit, sehingga pembelajaran diserahkan kepada senior yang belum tentu memiliki pendekatan edukatif. Akibatnya, pengawasan terhadap proses pendidikan melemah dan membuka ruang bagi perilaku intimidatif.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar rumah sakit pendidikan seperti RSUD dr. Soetomo dan RSCM mengalami beban tinggi karena jumlah peserta didik yang banyak, sementara jumlah pengajar tidak sebanding. Idealnya, praktik klinis dilakukan dengan bimbingan langsung dari dosen, namun kondisi di lapangan berkata lain.
Sebagai solusi, Kementerian Kesehatan akan memperbarui sistem pendidikan dokter spesialis. Salah satunya dengan penerapan e-logbook, yakni sistem digital yang mencatat progres belajar peserta dan mengukur kompetensi berdasarkan praktik yang dilakukan. Kelulusan peserta akan dievaluasi berdasarkan data objektif, bukan sekadar penilaian subjektif.
“Lewat sistem ini, setiap tindakan medis akan tercatat, mulai dari jumlah praktik hingga keberhasilan tindakan. Ini menjadi dasar kelulusan,” jelas Budi.
Ia juga menyampaikan bahwa penilaian terhadap senior kini akan melibatkan umpan balik dari junior. Evaluasi ini bersifat anonim dan menjadi salah satu indikator kelayakan senior untuk lulus.
“Kalau ingin lulus, senior harus mendapat penilaian baik dari junior. Ini bagian dari perbaikan kultur pendidikan agar bebas dari perundungan,” tutup Menkes.