Jakarta – Optimisme terhadap pemulihan ekonomi Indonesia terus tumbuh, dan saat ini dinilai sebagai momen yang tepat bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya. Hal ini disampaikan oleh Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, yang menilai kondisi makroekonomi saat ini mendukung pelonggaran kebijakan moneter.
Menurut Fakhrul, nilai tukar rupiah mulai menunjukkan penguatan seiring meredanya tekanan eksternal, seperti ketegangan perdagangan global. Faktor ini membuka peluang bagi BI untuk mulai memangkas suku bunga guna mendorong pertumbuhan.
“Bank Indonesia sebelumnya sudah memberi sinyal bahwa mereka melihat adanya ruang untuk menurunkan suku bunga, asalkan stabilitas nilai tukar dan inflasi tetap terjaga. Langkah ini penting untuk mendukung pemulihan ekonomi,” ujar Fakhrul, Senin (19/5), dilansir dalam laman InfoPublik.
Ia juga menyoroti bahwa prospek ekonomi global yang cenderung melambat menambah urgensi bagi Indonesia untuk segera memberi stimulus. Penurunan suku bunga dinilai bisa menjadi langkah strategis dalam menjaga momentum pertumbuhan.
Selain kebijakan suku bunga, Fakhrul menilai instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga perlu mendapat perhatian. Menurutnya, strategi BI dalam pengelolaan SRBI harus disesuaikan dengan kondisi pasar saat ini, terutama setelah menguatnya nilai tukar.
“Jika BI mulai menurunkan imbal hasil SRBI serta menyesuaikan volume lelang yang diserap, likuiditas di pasar uang bisa membaik. Ini akan memperkuat dampak dari kebijakan pelonggaran yang dijalankan,” jelasnya.
Ia juga mendorong agar BI terus memperluas pelonggaran kebijakan makroprudensial, terutama untuk mendorong penyaluran kredit dan meningkatkan permintaan domestik, yang saat ini masih tumbuh moderat.
Dari sisi pasar modal, Fakhrul optimistis bahwa kondisi global yang stabil serta sentimen positif di dalam negeri bisa mengangkat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ia memperkirakan, jika suku bunga dipangkas, indeks bisa menembus level 7.300 dalam waktu dekat.
“Sektor perbankan kemungkinan besar akan menjadi penopang utama kenaikan indeks, terutama jika arus dana asing terus masuk ke pasar domestik,” tambahnya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa pelaku pasar tetap perlu berhati-hati terhadap potensi aksi ambil untung (profit taking), terutama jika terjadi lonjakan ketegangan geopolitik.
Di luar kebijakan moneter, Fakhrul juga menekankan pentingnya peran fiskal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia menyebut bahwa pelaku pasar akan mencermati dengan seksama realisasi belanja pemerintah, khususnya pada periode April–Mei.
“Realisasi belanja negara lewat APBN dan jumlah penerbitan obligasi akan jadi indikator penting. Kalau eksekusi anggarannya tepat waktu, kita punya peluang besar untuk rebound di semester kedua,” pungkasnya.
Menurutnya, meskipun gejolak jangka pendek mulai mereda, arah pemulihan ekonomi nasional akan sangat ditentukan oleh kombinasi antara kebijakan moneter yang akomodatif dan belanja pemerintah yang tepat sasaran.