Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan praktik korupsi dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank milik negara. Kasus ini menyebabkan potensi kerugian negara hingga Rp700 miliar.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa para terduga pelaku diduga merekayasa proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) untuk memenangkan produk atau perusahaan tertentu secara tidak sah.
“Proses pengadaan tidak dijalankan sesuai prosedur. Ada upaya sistematis untuk mengarahkan agar pihak tertentu keluar sebagai pemenang,” ujar Budi dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (2/7).
Tak hanya menyalahi aturan pengadaan, KPK juga menemukan adanya praktik penggelembungan harga alias mark-up. Harga satuan EDC yang dibeli dalam proyek tersebut diketahui jauh di atas harga pasar.
“Contohnya, jika harga pasar sebenarnya sekian, maka dalam praktiknya dikondisikan agar bisa dibeli dengan harga yang lebih mahal. Itu jelas indikasi mark-up,” tegas Budi.
Dilansir dari laman berita satu, KPK menyebut akan segera merilis secara detail skema korupsi, alur kejadian, serta siapa saja pihak yang terlibat. Berdasarkan penyelidikan awal, proyek ini memiliki nilai anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp700 miliar—setara 30 persen dari total nilai proyek.
Proyek pengadaan EDC ini berlangsung dalam rentang waktu 2020–2024. Sejumlah penggeledahan telah dilakukan KPK sejak 26 Juni 2025, termasuk di rumah para pihak terkait, kantor perusahaan rekanan, serta kantor pusat bank BUMN tersebut.
Dalam prosesnya, penyidik menyita sejumlah dokumen pengadaan, buku tabungan, hingga perangkat bukti elektronik. “Penggeledahan masih terus berjalan. Kami akan terus memberikan informasi perkembangannya,” jelas Budi.
Sebagai bagian dari penyidikan, KPK juga telah mengajukan larangan bepergian ke luar negeri terhadap 13 orang yang diduga memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Di antara yang dicegah adalah Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia, Indra Utoyo, dan mantan Wakil Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Catur Budi Harto.
Pencegahan tersebut berlaku sejak 27 Juni 2025 untuk mendukung kelancaran proses penyelidikan. “Keterangan mereka sangat penting guna mengungkap kasus ini secara menyeluruh,” imbuh Budi.
KPK pun mengimbau seluruh pihak yang terlibat untuk bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung. Lembaga antikorupsi itu menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini, termasuk menelusuri aliran dana dan mengusut tanggung jawab para pejabat terkait.