Jakarta – Indonesia terus memperkuat transformasi digital, memperdalam fundamental ekonomi, serta menjalin kolaborasi internasional, termasuk melalui keanggotaan dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Sebagian besar regulasi nasional pun telah diselaraskan dengan standar organisasi tersebut.
Berbagai kajian OECD mengenai keuangan digital dan Artificial Intelligence (AI) menjadi rujukan penting di tengah pesatnya perkembangan digital Tanah Air. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mendekati nilai Gross Merchandise Value (GMV) USD100 miliar pada 2025, didorong oleh ekspansi e-commerce. Transaksi pembayaran digital pun tumbuh 27% menjadi USD538 miliar pada tahun yang sama dan diprediksi menembus USD1 triliun pada 2030.
“Di kawasan regional, Indonesia aktif mendorong integrasi digital lewat ASEAN DEFA, yang diprediksi membentuk ekonomi digital senilai USD2 triliun pada 2030. Proses negosiasi telah menunjukkan kemajuan signifikan dan ditargetkan rampung awal 2026 saat Filipina menjadi ketua, dengan penandatanganan resmi di akhir tahun. Indonesia juga telah merampungkan aturan perdagangan digital dalam IEU-CEPA, membuka peluang peningkatan daya saing dan lapangan kerja,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keynote speech pada “OECD Asia Roundtable on Digital Finance 2025” secara virtual di Bali, Senin (1/12).

Ia menambahkan, keberhasilan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) menjadi contoh transformasi digital yang memperluas inklusi. Sepanjang tahun ini, transaksi QRIS melonjak 148% secara tahunan, menjangkau 39 juta merchant dan 58 juta pengguna. Dengan arah kebijakan yang jelas serta kemampuan teknologi yang terus berkembang, Indonesia menargetkan pembangunan ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang lebih tangguh, inklusif, dan berdaya saing.
“Saya menyambut seluruh peserta OECD Asia Roundtable on Digital Finance 2025 di Bali dan mengapresiasi peluncuran ‘Regulation of AI in Finance in Asia Report’. Semoga forum ini memperkuat kerja sama global maupun regional dalam sektor keuangan digital dan AI, sekaligus memberi kontribusi bagi agenda strategis OECD,” tutur Menko Airlangga.
Pengembangan pondasi AI di Indonesia dibangun melalui empat pilar 4C: connectivity, computing capacity, context, dan competence. Pemerintah memperluas jaringan serat optik untuk meningkatkan konektivitas, memberikan insentif pusat data domestik untuk memperkuat komputasi, mengembangkan AI dengan konteks lokal seperti Sahabat-AI, serta meningkatkan kompetensi talenta digital melalui berbagai program pelatihan dan kolaborasi global.
Pendapatan dari aplikasi berbasis AI juga mencatat pertumbuhan kuat. Investasi swasta di sektor AI mencapai USD91 juta dari akhir 2024 hingga pertengahan 2025. Sentimen publik pun positif, dengan 56% pekerja meyakini AI mampu meningkatkan produktivitas. Indonesia bahkan menempati posisi keempat sebagai pasar AI paling potensial di Asia.
“Di sektor keuangan, inovasi tak bisa berhenti. Implementasi AI berskala kecil dapat memperluas akses ke layanan perbankan digital, keuangan mikro, hingga membantu pengambilan keputusan pada sektor UMKM,” pungkas Airlangga.

