Yogyakarta – Indonesia tengah menghadapi tantangan besar di sektor pertanian: krisis regenerasi petani dan menyusutnya lahan produktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan jumlah usaha pertanian perorangan sejak 2013. Jika pada 2013 jumlah petani mencapai 31,70 juta orang, kini angkanya turun menjadi 29,34 juta—merosot sekitar 7,45 persen.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bahkan mengalami penurunan yang lebih drastis. Dalam satu dekade terakhir, jumlah petani di wilayah ini menyusut hingga 26,26 persen atau setara dengan sekitar 153 ribu orang yang memilih meninggalkan sektor pertanian.
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Bayu Dwi Apri Nugroho, menegaskan bahwa penurunan jumlah petani dan produktivitas lahan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
“Alih fungsi lahan berlangsung sangat cepat, terutama di Pulau Jawa. Di sisi lain, rata-rata usia petani saat ini sudah mencapai 50 tahun. Tanpa regenerasi yang serius, kita akan menghadapi krisis tenaga kerja pertanian dalam 10 hingga 20 tahun ke depan,” ujarnya dikutuip dari laman ugm pada Senin (30/06)
Selain alih fungsi lahan, Bayu menyebut persepsi negatif terhadap profesi petani turut memperburuk situasi. Banyak yang masih menganggap pertanian sebagai pekerjaan konvensional, kurang menjanjikan, dan tidak mampu meningkatkan taraf hidup.
“Pemerintah perlu mengubah pola pikir tersebut. Salah satu caranya adalah mengenalkan pertanian modern melalui inovasi dan teknologi sejak dini—bahkan mulai dari bangku sekolah dasar,” jelas Bayu.
Ia menilai program “petani milenial” yang saat ini digaungkan pemerintah sebagai langkah awal yang baik. Namun, menurutnya, program semacam itu tidak akan efektif jika hanya sebatas slogan atau proyek jangka pendek.
“Regenerasi petani tidak cukup hanya dengan pelatihan singkat. Harus ada integrasi pengetahuan pertanian modern dalam kurikulum pendidikan formal. Anak-anak perlu diajak mengenal dunia pertanian dari kecil—dengan pendekatan teknologi dan inovasi,” ujarnya.
Untuk jangka pendek, Bayu menyarankan adanya proyek percontohan (piloting) yang menampilkan langsung bagaimana teknologi mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. “Contoh konkret lebih efektif untuk menarik minat generasi muda agar melihat pertanian sebagai profesi masa depan yang menjanjikan,” katanya.
Lebih jauh, ia juga mendorong pengenalan pertanian modern sejak jenjang TK hingga SMA, termasuk penggunaan teknologi canggih seperti drone dan sistem pertanian presisi. “Dengan cara itu, kita bisa membangkitkan minat generasi muda agar melihat pertanian bukan hanya sebagai kerja fisik, tapi juga sebagai bidang yang kaya akan inovasi,” imbuhnya.
Bayu juga menekankan pentingnya peran pemerintah pusat dan daerah dalam membangun sistem pertanian yang berkelanjutan dan terintegrasi, dari hulu hingga hilir.
“Harus dibangun ekosistem pertanian yang menyatu dari proses produksi hingga distribusi, atau dari land to table. Sistem ini penting untuk menjamin ketersediaan pangan, stabilitas harga, dan kesejahteraan petani,” pungkasnya.