Jakarta – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memastikan bahwa hingga saat ini pemerintah belum memberlakukan kurikulum baru di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Kurikulum 2013 (K13) dan Kurikulum Merdeka masih menjadi dasar utama dalam kegiatan pembelajaran, termasuk di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Laksmi Dewi, dalam acara Dialog Kebijakan bersama media yang digelar di Jakarta, Jumat (18/7).
“Tidak ada kurikulum baru, dan tidak ada perubahan nama. Yang masih berlaku adalah Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Untuk daerah 3T, K13 masih dapat digunakan sampai tahun ajaran 2026–2027,” ujar Laksmi.
Ia juga meluruskan pemahaman mengenai istilah deep learning. Menurutnya, deep learning bukanlah kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman mendalam terhadap materi, bukan sekadar kuantitas.
Pendekatan ini bertujuan mendorong pembelajaran yang lebih bermakna, mengembangkan karakter, dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. “Materi pelajaran tidak perlu terlalu banyak, yang penting siswa betul-betul memahami, meresapi, dan menikmati prosesnya,” jelasnya.
Konsep ini diadaptasi dari sistem pendidikan sejumlah negara seperti Australia, Kanada, dan Swedia, yang terbukti mampu meningkatkan kualitas lulusan dan relevansi pendidikan.
Untuk mendukung penerapan deep learning, BSKAP bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) serta Pendidikan Guru (PG) telah menyiapkan sekitar 200 narasumber nasional. Mereka akan melatih para guru secara bertahap melalui metode pelatihan berantai (cloning) dan webinar daring.
“Sosialisasi tidak bisa dilakukan sekaligus. Kami sudah mulai dari Aceh hingga Papua,” ungkap Laksmi.
Ia menjelaskan, tujuan akhir dari pendekatan ini adalah membentuk profil lulusan dengan delapan kompetensi utama, yakni: keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME, kewarganegaraan, kreativitas, kemandirian, komunikasi, kesehatan, kolaborasi, dan penalaran kritis.
Menurut Laksmi, pendekatan ini merupakan upaya konkret untuk menjawab tantangan schooling without learning atau pembelajaran yang tidak berdampak meski anak mengikuti pendidikan formal.
“Secara konsep, pendekatan ini menjanjikan. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada banyak faktor—terutama peran guru, dukungan keluarga, serta lingkungan belajar yang kondusif,” tutupnya.