Jakarta – Ekonomi dan keuangan syariah dinilai mampu memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report, Indonesia berhasil menempati peringkat ketiga dunia dalam sektor ekonomi syariah global.
Kekuatan utama Indonesia terletak pada modest fashion, pariwisata ramah muslim, serta industri farmasi dan kosmetik halal. Meski demikian, potensi besar masih terbuka lebar di sektor makanan halal (halal food), keuangan syariah, dan media serta rekreasi halal.
“Untuk sektor busana misalnya, konsumsi pakaian muslim di Indonesia mencapai sekitar USD 20 miliar atau Rp289 triliun. Sementara di sektor makanan dan minuman, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan prinsip syariah full compliance karena seluruh produk halal wajib disertifikasi. Nilai ekonomi sektor ini mencapai USD 109 miliar atau sekitar Rp1.000 triliun. Jika kepatuhan terhadap prinsip syariah terus diperkuat, bukan mustahil Indonesia bisa naik dari peringkat tiga menjadi yang pertama di dunia,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pembukaan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2025 di Jakarta, Rabu (8/10).
Pertumbuhan Ekonomi Syariah di Dalam Negeri
Kinerja ekonomi syariah nasional terus menunjukkan tren positif. Hal ini terlihat dari peningkatan kontribusi usaha syariah terhadap PDB, lonjakan jumlah produk halal tersertifikasi, meningkatnya daya saing ekspor produk halal, serta pertumbuhan aset keuangan syariah yang telah melampaui Rp10 ribu triliun pada 2025.

“Pemerintah menjadikan ekonomi syariah sebagai salah satu prioritas nasional dalam RPJPN 2025–2045. Fokusnya meliputi penguatan keuangan syariah, optimalisasi dana sosial syariah untuk pengentasan kemiskinan, pemberdayaan UMKM halal, serta pembangunan regulasi dan kelembagaan yang solid,” jelas Airlangga.
Strategi Penguatan Ekosistem Keuangan Syariah
Dalam memperkuat kemandirian ekonomi dan pertumbuhan inklusif, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengembangkan ekosistem keuangan syariah dan industri halal nasional.
Pertama, memperluas akses pembiayaan syariah melalui skema inovatif seperti KUR Syariah dan Bullion Bank. Selama 2015–2025, penyaluran KUR Syariah telah mencapai Rp75 triliun bagi 1,3 juta debitur. Sementara Bank Bullion, sejak diluncurkan pada Februari 2025, telah merealisasikan transaksi emas hingga 45 ton, yang juga dikaitkan dengan instrumen sosial seperti wakaf produktif.
“Produksi emas nasional mencapai hampir 110 ton per tahun. Potensi ini dapat menjadi penopang ekonomi syariah, terutama jika lembaga pendidikan seperti pesantren mulai menabung emas. Emas memiliki nilai yang stabil dan tahan terhadap gejolak ekonomi global. Karena itu, instrumen ini penting untuk terus dikembangkan,” kata Airlangga.
Kedua, meningkatkan literasi dan edukasi keuangan syariah melalui Dewan Nasional Keuangan Inklusi (DNKI) agar akses keuangan syariah menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Ketiga, mempercepat digitalisasi sistem ekonomi syariah, antara lain melalui integrasi platform SIHALAL untuk percepatan sertifikasi halal—yang kini telah mencapai 5,9 juta sertifikat dari target 10 juta—serta pengembangan platform wakaf digital dan e-commerce halal untuk menghubungkan pelaku usaha lokal dengan pasar global.

“Dengan sinergi antara akses pembiayaan, literasi, dan transformasi digital, kita dapat membangun ekosistem keuangan syariah dan industri halal yang kokoh, inklusif, serta berdaya saing global,” tegas Airlangga.
Pemerintah juga terus mendorong inovasi melalui kolaborasi lintas sektor. Beberapa di antaranya adalah pengembangan Pusat Informasi Terpadu Zakat, Infak, dan Sedekah, serta perluasan fitur Sukuk Bank Indonesia (SUK-BI) bagi investor non-bank dan non-residen.
“Ekonomi syariah bukan hanya berbicara soal halal dan haram, tetapi juga tentang pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan semangat optimis dan sinergi lintas sektor, mari kita jadikan ekonomi syariah sebagai motor penggerak menuju Visi Indonesia Emas 2045,” pungkas Airlangga.