Jakarta – Chief Executive Officer (CEO) Danantara sekaligus Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani, menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun kajian mendalam untuk menentukan opsi penyelesaian utang proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Menurut Rosan, langkah ini tidak hanya berfokus pada penyelesaian jangka pendek, tetapi juga memastikan agar tidak muncul potensi masalah baru di masa mendatang.
“Dalam penyelesaian utang ini, kami tidak hanya meninjau aspek finansial, tetapi juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah China. Hal ini penting karena proyek KCIC merupakan bagian dari program strategis Presiden Xi Jinping pada saat itu,” ujar Rosan dikutip dari laman berita satu, Jumat (17/10).
Ia menegaskan, opsi penyelesaian yang akan dipilih harus mampu memberikan dampak positif bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai salah satu pemegang saham utama. Kajian ini ditargetkan rampung sebelum akhir tahun 2025.
Total nilai investasi proyek KCIC tercatat mencapai sekitar US$7,27 miliar atau setara Rp120,38 triliun, di mana sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan bunga 2% per tahun.
Saat ini, terdapat dua skenario utama yang sedang dikaji: pelimpahan sebagian kewajiban kepada pemerintah atau penyertaan modal tambahan ke PT KAI. Meski begitu, Rosan memastikan Danantara akan tetap mengambil peran sentral dalam proses penyelesaian utang tersebut.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai Danantara memiliki kapasitas finansial yang cukup kuat untuk menyelesaikan kewajiban KCIC—atau yang kini dikenal dengan nama Whoosh—tanpa perlu mengandalkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Mereka akan menyampaikan usulan resmi kepada kami. Yang penting, struktur pembayaran kepada CDB harus jelas agar tidak menimbulkan persoalan baru,” kata Purbaya usai menghadiri rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta, Rabu (15/10).