Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI secara resmi mengimplementasikan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) sebagai sistem perpajakan baru di Indonesia sejak Januari 2025. Namun, sejak diluncurkan, sistem ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk kendala teknis dan keluhan dari masyarakat. Hal ini menjadi sorotan mengingat biaya pengembangannya yang mencapai Rp 1,3 triliun, bahkan disebut melebihi investasi dalam proyek AI seperti DeepSeek dan ChatGPT.
Menanggapi hal ini, Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, menyatakan bahwa implementasi Coretax masih belum optimal karena persiapannya yang dilakukan terlalu singkat.
Ada kesan bahwa proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru dan kurang matang, mengingat waktu persiapannya yang sangat singkat antara pertengahan hingga akhir Desember lalu,” ujar Rijadh dikutip dalam laman ugm, pada Sabtu (15/2).
Empat Faktor Penyebab Masalah Coretax
Menurut Rijadh, terdapat empat faktor utama yang menyebabkan kendala dalam implementasi Coretax:
- Sistem Belum Siap untuk Akses Massal
Coretax mengalami lonjakan lalu lintas pengguna secara real-time, yang mengakibatkan bottleneck pada jaringan dan memperlambat respons server, sehingga sulit diakses oleh wajib pajak.
- Bug dalam Fungsi Utama Sistem
Beberapa fitur penting, seperti pelaporan pajak, validasi data, dan otomatisasi perpajakan, masih mengalami runtime errors dan kegagalan validasi data. Ia menilai bahwa proses Quality Assurance (QA) dan User Acceptance Testing (UAT) belum dilakukan secara menyeluruh.
- Kapasitas Sistem yang Tidak Memadai
Arsitektur sistem dinilai belum siap untuk menangani skala besar, menyebabkan gangguan layanan saat volume data meningkat drastis. “Infrastruktur server yang digunakan tampaknya belum dioptimalkan untuk pemrosesan data dalam jumlah besar,” jelasnya.
- Keterbatasan Software COTS
Coretax dibangun dengan Commercial Off-The-Shelf (COTS) software, yang masih berbasis solusi generik. Padahal, sistem perpajakan di Indonesia memiliki karakteristik unik yang memerlukan penyesuaian lebih lanjut agar lebih efektif.
Meski menghadapi tantangan, Rijadh menilai bahwa konsep Coretax sangat strategis dalam reformasi perpajakan. Sistem ini bertujuan mengurangi tax gap, meningkatkan rasio pajak, serta memperbaiki kualitas data perpajakan.
Coretax juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi pajak, termasuk menyinkronkan data wajib pajak dari berbagai sumber secara otomatis. Sistem ini juga mencakup proses pendaftaran, pelaporan, hingga pengawasan dalam satu platform terintegrasi.
Dari segi biaya, Rijadh menilai bahwa anggaran Rp 1,3 triliun untuk Coretax masih tergolong hemat dibandingkan proyek serupa di negara lain yang bisa mencapai Rp 7 triliun. Namun, evaluasi menyeluruh tetap diperlukan untuk memastikan efektivitas sistem.
Strategi Perbaikan dan Implementasi Bertahap
Untuk menghindari gangguan operasional, Rijadh menyarankan agar penggunaan Coretax dilakukan secara paralel dengan sistem lama hingga sistem baru benar-benar stabil. Dengan pendekatan parallel running, kelemahan sistem dapat diidentifikasi bertahap tanpa mengganggu layanan perpajakan yang sudah berjalan. Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada empat hal penting:
- Evaluasi menyeluruh terhadap sistem
- Akuntabilitas dan komunikasi terkait perbaikan
- Manajemen risiko proyek
- Integrasi data lama ke dalam sistem baru
Ia juga menekankan pentingnya pengujian sistem lebih lanjut, pelatihan intensif bagi pengguna akhir, serta komunikasi yang jelas kepada masyarakat agar sistem ini dapat diterapkan secara efektif.
Coretax Sebagai Game Changer Digitalisasi Pajak
Rijadh optimis bahwa jika perbaikan dilakukan secara konsisten, Coretax dapat menjadi game changer dalam digitalisasi perpajakan di Indonesia. Ia bahkan mengutip pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut bahwa menurut World Bank, Indonesia masih memiliki potensi pajak yang belum tergali hingga 6,4% dari PDB, yang setara dengan Rp 1.500 triliun. Dengan pengelolaan pajak yang optimal, penerimaan negara dapat meningkat secara signifikan.
“Menurut saya jika semua pihak berkomitmen untuk perbaikan, Coretax bisa menjadi game changer bagi digitalisasi perpajakan di Indonesia,” pungkasnya.