Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut positif keputusan Amerika Serikat (AS) menurunkan tarif impor terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19%. Langkah ini diyakini akan mendorong lonjakan ekspor nasional dalam lima tahun ke depan.
Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyampaikan apresiasi atas hasil negosiasi perdagangan yang berhasil diraih pemerintah, terlebih kesepakatan tersebut diumumkan langsung oleh Presiden AS, Donald Trump.
“Selamat kepada pemerintah. Ini pencapaian yang baik, apalagi dilakukan saat Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS,” ujar Anindya dalam keterangannya, Rabu (16/7).
Melansir dari laman berita satu, Anindya mengakui munculnya pertanyaan dari berbagai pihak terkait mengapa tarif impor tidak bisa ditekan lebih rendah. Namun, menurutnya, tarif 19% sudah tergolong kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain dalam kondisi perdagangan global saat ini.
Sebagai perbandingan, tarif impor untuk produk Meksiko mencapai 35%, China 30%, sementara Inggris hanya 10% karena neraca perdagangannya dengan AS defisit. Di sisi lain, Indonesia justru mencatat surplus hingga US$ 18 miliar.
“Wajar jika ada pertanyaan soal tarif. Tapi dengan posisi surplus sebesar itu, tentu AS punya pertimbangan mengenakan tarif. Tarif 19% ini relatif masih kompetitif,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kadin meyakini bahwa kesepakatan ini dapat memberikan dampak signifikan terhadap nilai perdagangan bilateral. Anindya memperkirakan, dalam lima tahun mendatang, nilai ekspor Indonesia ke AS dapat meningkat dua kali lipat.
“Perdagangan kita dengan AS saat ini sekitar US$ 40 miliar. Dengan momentum ini, saya optimistis bisa naik menjadi US$ 80 miliar dalam lima tahun ke depan,” paparnya.
Untuk mengantisipasi lonjakan permintaan, Kadin akan segera menggelar pertemuan dengan para pelaku industri nasional, khususnya dari sektor tekstil, garmen, alas kaki, dan elektronik.
Anindya menekankan pentingnya kesiapan industri dalam negeri agar peluang yang terbuka lebar ini tidak dimanfaatkan oleh negara lain karena lemahnya kapasitas produksi Indonesia.
“Kita tidak boleh lengah. Jangan sampai sudah diberi kemudahan, justru negara lain yang menikmati manfaatnya karena kita tidak siap secara produksi,” pungkasnya.