Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyoroti masih tingginya angka kematian bayi dan balita di Indonesia yang mencapai lebih dari 30 ribu kasus setiap tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN lain, bahkan Vietnam, dengan 90 persen di antaranya terjadi di rumah sakit.
“Indonesia tidak lebih baik dari Vietnam dalam angka kematian balita. Singapura hanya mencatat 2 kasus per 1.000 kelahiran, Malaysia 6 hingga 7, Thailand 7 sampai 8, sedangkan kita justru masih di atas Vietnam. Jangan sampai Laos, Myanmar, bahkan Kamboja menyalip Indonesia,” ungkap Budi dikutip dalam keteragan tertulis dalam peringatan World Patient Safety Day 2025, Selasa (19/8).
Menurut Menkes, jumlah sebenarnya bisa lebih besar dari data resmi. Dari sekitar 4,8 juta kelahiran per tahun, diperkirakan ada hingga 100 ribu bayi yang meninggal. Namun, hanya sekitar 33 ribu kasus yang tercatat dalam sistem. “Kalau datanya tidak tercatat dengan benar, masalah ini tidak akan pernah selesai. Sama seperti pandemi COVID-19, menutup-nutupi data justru memperburuk keadaan,” tegasnya.
Karena itu, Kemenkes menekankan pentingnya sistem registrasi kematian ibu dan bayi yang lebih akurat, termasuk pencatatan penyebab kematian.

Masalah di Rumah Sakit
Budi juga menyoroti fakta bahwa 90 persen kasus kematian bayi terjadi di rumah sakit, mayoritas disebabkan oleh sepsis (infeksi) dan asfiksia atau gangguan pernapasan saat lahir. Ia mengakui bahwa standar kebersihan di sejumlah rumah sakit masih rendah sehingga meningkatkan risiko infeksi.
“Kalau ruang operasi masih kotor, perban bekas berdarah dibiarkan begitu saja, jangan heran jika infeksi menyebar. Itu yang harus kita benahi,” ujarnya.
Kemenkes berkomitmen memperbaiki tata kelola persalinan di rumah sakit serta memastikan sistem rujukan dari bidan, puskesmas, hingga rumah sakit berjalan lebih baik.
Penguatan Peran Bidan dan Pemeriksaan Kehamilan
Selain rumah sakit, Menkes juga menekankan pentingnya peran bidan. Menurutnya, bidan berhak menangani persalinan normal, tetapi harus dibekali kemampuan mendeteksi risiko sejak awal.
“Kita buat sistem klasifikasi, seperti bintang tiga atau lima. Bidan yang kompeten bisa menangani persalinan normal. Namun jika ada risiko, segera rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Jangan dipaksakan ditangani sendiri,” jelas Budi.
Untuk memperkuat upaya ini, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) diajak meningkatkan kapasitas tenaga bidan agar mampu memberikan pelayanan aman sesuai standar.
Kemenkes juga akan meningkatkan standar pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care/ANC) dari enam kali menjadi delapan kali, sesuai rekomendasi WHO. Langkah ini diharapkan dapat mendeteksi risiko sejak dini.
“Jika ada waktu sembilan bulan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi tapi tidak dimanfaatkan dengan pemeriksaan rutin, itu kelalaian kita. Dengan pemeriksaan lebih sering, risiko bisa lebih cepat ditemukan,” tambahnya.
Target Turunkan Angka Kematian Bayi
Sebagai langkah awal, Kemenkes menetapkan tiga kabupaten di Jawa Barat — Bogor, Garut, dan Bandung — sebagai proyek percontohan karena angka kematian bayinya paling tinggi secara jumlah. Model yang berhasil akan diperluas ke daerah lain.
“Target kita jelas, menurunkan angka kematian bayi dari 30 ribu menjadi 20 ribu per tahun. Seminar boleh, rapat boleh, tapi yang terpenting angkanya benar-benar turun, bukan hanya tidak dilaporkan,” tegas Budi.
Ia menutup dengan ajakan menyentuh: “Bayangkan, ada 66 ribu keluarga setiap tahun kehilangan anaknya. Kalau itu terjadi pada keluarga kita sendiri, pasti kita tidak akan tinggal diam. Mari bersama-sama bekerja nyata agar angka ini benar-benar menurun.”