Jakarta – Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur, Rabu (20/8). Keputusan ini menjadi penurunan kedua secara beruntun, sejalan dengan proyeksi DBS Group Research yang melihat ruang kebijakan moneter tetap akomodatif.
Senior Economist DBS Bank, Radhika Rao, menyebut langkah BI ini didorong oleh melemahnya momentum pertumbuhan di paruh kedua 2025, ditambah kondisi perdagangan global yang penuh tantangan. “Dengan inflasi yang terkendali dan rupiah stabil, BI memilih tetap mendukung pertumbuhan,” ujarnya.
Analisis DBS: Faktor Eksternal dan Stabilitas Domestik
DBS Group Research menilai kebijakan BI tidak lepas dari dinamika global. Dari sisi eksternal, ekonomi Amerika Serikat tengah menghadapi tekanan inflasi tinggi, kebijakan imigrasi ketat, dampak tarif perdagangan, serta gejolak politik yang memengaruhi The Fed. Pertumbuhan ekonomi AS pun diprediksi melambat, dengan kemungkinan penurunan suku bunga 50 basis poin pada paruh kedua 2025 dan tambahan pemangkasan tahun 2026.

Meski ekspor Indonesia ke AS didominasi produk tekstil, furnitur, dan alas kaki, DBS menilai dampak tarif AS terhadap Indonesia relatif terbatas dibanding negara ASEAN lain. Tiga faktor yang memperkuat resiliensi ekonomi domestik adalah inflasi yang mereda, dorongan belanja pemerintah, dan arus Foreign Direct Investment (FDI) yang positif.
“Diversifikasi ekonomi Indonesia membuatnya lebih tangguh menghadapi tarif baru AS,” tambah Radhika.
Inflasi diproyeksikan tetap berada di kisaran target 3–4 persen hingga 2026. BI diperkirakan mempertahankan kebijakan moneter dovish sambil menyesuaikan arah suku bunga The Fed dan stabilitas rupiah. Target pertumbuhan ekonomi RI 2025 tetap 5 persen, bahkan berpotensi naik ke 5,4 persen pada 2026, tertinggi sejak 2018.
Obligasi dan Pasar Saham Indonesia
Penurunan imbal hasil obligasi RI menunjukkan respons pasar terhadap ekspektasi kebijakan longgar BI. Minat investor meningkat pada instrumen berimbal hasil tinggi, khususnya tenor pendek hingga menengah.
Equities Specialist DBS, Maynard Arif, menilai pasar saham Indonesia menarik karena adanya rotasi ke saham big caps yang lebih tahan volatilitas. “Valuasi pasar RI masih kompetitif dibanding negara Asia lainnya, memberi peluang bagi investor yang mencari stabilitas sekaligus pertumbuhan,” ujarnya.

Rupiah dan Strategi USD/IDR
Nilai tukar USD/IDR terkoreksi dalam dua bulan terakhir dan diperkirakan konsolidasi dalam jangka pendek. Kondisi ini mencerminkan adaptasi pasar terhadap ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed dan stabilitas ekonomi domestik.
DBS Global Financial Markets (GFM) pun menawarkan strategi pengelolaan risiko melalui analisis pasar mendalam, konsultasi investasi, hingga akses ke instrumen keuangan global. Executive Director & Head of Sales GFM PT Bank DBS Indonesia, Muchammad Suryanatakusumah, menegaskan pentingnya strategi adaptif: “Pergerakan USD/IDR mencerminkan kompleksitas global. Dengan pendekatan yang tepat, investor bisa lebih siap menghadapi volatilitas sekaligus menangkap peluang.”