Rabies masih menjadi persoalan kesehatan yang memerlukan perhatian serius. Di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Kota Kupang, tercatat sekitar 130.000 dari total 200.000 ekor anjing belum mendapat vaksin. Pemerintah setempat kini gencar melakukan vaksinasi ribuan anjing untuk mencegah meluasnya wabah. Pulau Timor sendiri masuk kategori daerah rawan rabies, dan kondisi serupa juga bisa terjadi di wilayah lain di Indonesia jika vaksinasi tidak dilakukan secara masif dan berkelanjutan.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Heru Susetya, menjelaskan bahwa Pulau Timor memang memiliki riwayat panjang kasus rabies. Berdasarkan risetnya, wilayah di Indonesia terbagi menjadi tiga kategori:
- Daerah endemis, yakni wilayah yang masih melaporkan kasus rabies, seperti NTT, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku.
- Daerah bebas rabies setelah pemberantasan, misalnya DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
- Daerah bebas rabies historis, yaitu wilayah yang sejak awal tidak ditemukan kasus, seperti Bangka Belitung dan sebagian besar Papua.
Menurut Heru, vaksinasi pada anjing liar tidak diperlukan di wilayah bebas rabies, terutama yang historis. Namun, di daerah endemis, cakupan vaksinasi pada anjing dan kucing harus diperluas, khususnya bila banyak hewan dipelihara secara dilepasliarkan.
Rabies sendiri merupakan penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat akibat virus rabies (Lyssavirus). Penyakit ini dapat menyerang semua mamalia, termasuk manusia, dan hampir selalu berakibat fatal setelah gejala klinis muncul. Penularan utamanya melalui gigitan anjing, meski kucing, monyet, atau satwa liar lain juga bisa menjadi perantara. Kasus langka juga pernah dilaporkan melalui udara di gua kelelawar, transplantasi organ dari donor terinfeksi, hingga kontak dengan daging hewan positif rabies.
Jika seseorang tergigit hewan di daerah endemis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencuci luka dengan sabun dan air mengalir selama minimal 15 menit. Tindakan sederhana ini sangat penting untuk mengurangi risiko infeksi virus.
Langkah medis berikutnya ditentukan berdasarkan kategori luka:
- Kategori II: luka ringan tanpa perdarahan atau jilatan pada kulit lecet → korban wajib segera mendapat vaksin rabies.
- Kategori III: gigitan berdarah, luka banyak, atau di area berisiko dekat otak → korban harus mendapat vaksin rabies ditambah Serum Anti Rabies (SAR) atau rabies immunoglobulin (RIG).
Vaksin rabies biasanya diberikan dalam beberapa dosis, yakni pada hari ke-0, 7, dan 21/28, tergantung jenis vaksin.
Hewan penggigit pun wajib diobservasi. Menurut standar WHO, masa observasi 10 hari, sementara di Indonesia diperpanjang menjadi 14 hari. Jika hewan tetap sehat, vaksinasi pasca-pajanan (PEP) pada manusia dapat dihentikan sebelum dosis terakhir. Namun, bila hewan menunjukkan gejala rabies atau mati, vaksinasi harus dilanjutkan sampai selesai.
Heru menekankan bahwa vaksinasi manusia tidak boleh ditunda hanya karena menunggu hasil observasi hewan. Jika hewan penggigit hilang atau tak bisa diawasi, korban wajib menjalani vaksinasi lengkap. “Jangan menunda, karena rabies hampir selalu berakibat fatal bila gejala sudah muncul. Pencegahan harus segera dilakukan,” tegasnya dikutip dari laman ugm.
Lebih jauh, Heru menegaskan vaksinasi hewan adalah langkah paling efektif mencegah wabah. Vaksinasi tak hanya melindungi hewan peliharaan, tetapi juga menghentikan rantai penularan ke manusia. Karena itu, dukungan pemerintah dan keterlibatan masyarakat sangat penting dalam vaksinasi massal.
Selain vaksinasi, masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dengan memperhatikan perubahan perilaku hewan, seperti mendadak agresif, takut cahaya atau suara, menolak makan, hingga mengeluarkan liur berlebihan. Anak-anak juga perlu diajarkan untuk tidak mendekati hewan asing.

