Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) tengah menyiapkan kurikulum literasi digital terbaru guna memperkuat kemampuan masyarakat dalam memahami cara kerja algoritma media sosial serta mengenali konten hoaks yang dibuat menggunakan teknologi kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI).
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menjelaskan, dinamika algoritma media sosial saat ini menyebabkan pengguna hanya terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan pribadi mereka. Pola ini memunculkan fenomena echo chamber atau “bilik gema” di ruang digital.
“Setiap orang di media sosial sebenarnya hidup dalam bilik gema masing-masing, karena algoritma hanya menampilkan informasi yang sesuai dengan minat atau keyakinan pengguna,” ujar Nezar saat menerima audiensi Sespimti Polri Dikreg ke-34 Gelombang Dua dalam kegiatan Kuliah Kerja Profesi di Kantor Kemkomdigi, Jakarta, Senin (3/11).
Nezar menambahkan, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan fenomena lanjutan berupa post-truth dan hyperreality, di mana masyarakat lebih mudah mempercayai informasi berdasarkan emosi atau sentimen dibandingkan fakta.
“Ketika sentimen lebih dominan daripada fakta, maka kebenaran menjadi tidak relevan lagi. Media sosial membentuk persepsi—yang salah bisa dianggap benar, dan yang benar bisa tampak salah,” tegasnya.
Perkembangan pesat teknologi AI juga memperburuk situasi, karena kini algoritma mampu menghasilkan konten audio-visual yang sangat realistis, termasuk video palsu atau deepfake. Melihat tantangan tersebut, Kemkomdigi tengah merancang kurikulum literasi digital yang menyesuaikan perkembangan teknologi terkini, agar masyarakat lebih kritis dan mampu membedakan informasi faktual dari manipulasi digital.
“Pendekatan lama sudah tidak efektif karena teknologi sudah berubah. Karena itu, kami menyiapkan model pembelajaran literasi digital baru yang lebih relevan,” jelas Nezar dikutip dari laman infopublik.
Ia menegaskan, Kemkomdigi akan terus memperkuat kerja sama dengan Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menangani penyebaran konten negatif, khususnya yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk memperkuat ketahanan digital nasional terhadap disinformasi dan manipulasi algoritmik, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta kebijakan penguatan ruang digital yang aman, inklusif, dan beretika.

