Jakarta – Populix, perusahaan riset teknologi bersama platform pencarian kerja daring KitaLulus merilis laporan terbaru bertajuk Studi Persepsi dan Tantangan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Laporan ini mengungkap rendahnya kepercayaan pekerja terhadap perusahaan dalam menghadapi risiko PHK. Bahkan, 80% pekerja menilai proses PHK saat ini masih berlangsung secara tidak manusiawi.
Co-Founder KitaLulus, Stevien Jimmy, menegaskan bahwa PHK memang tidak selalu dapat dihindari, namun dampaknya terhadap manusia jauh lebih besar daripada sekadar urusan administrasi.
“Banyak pekerja masih merasa dirugikan dan tidak diperlakukan secara layak. Karena itu, setiap proses PHK harus dilakukan dengan empati. Bahkan ketika keputusan sudah final, cara kita menyampaikan kabar buruk sangat menentukan rasa aman bagi mereka yang terkena dampaknya,” ujarnya.
Studi ini dilakukan melalui survei online di platform KitaLulus dengan melibatkan 945 pekerja dan pencari kerja, serta 74 praktisi Human Resources (HR) yang berlangsung pada 15 Oktober–7 November 2025. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat, 62,2% responden mengaku pernah mengalami PHK, sementara 20,6% lainnya memiliki keluarga, teman, atau kolega yang terdampak PHK.
Menurut Vivi Zabkie, Policy & Society Research Director Populix, mayoritas pekerja merasa proses PHK masih jauh dari prinsip kemanusiaan karena dinilai tidak transparan dan tidak adil. Banyak perusahaan dianggap kurang mempertimbangkan kondisi pekerja, masa kerja, kontribusi, serta performa sebelum mengambil keputusan PHK. Hal ini diperparah dengan alasan PHK yang sering kali tidak dijelaskan secara jelas dan rasional.
“Sebanyak 82% pekerja bahkan merasa rentan terhadap ancaman PHK, dan menganggap dukungan manajemen terhadap keberlangsungan pekerjaan masih lemah. Ini menunjukkan bahwa dampak PHK juga membebani mereka yang masih bekerja,” tambah Vivi.
Laporan tersebut juga memperlihatkan adanya perbedaan persepsi antara pekerja dan praktisi HR terkait proses PHK, termasuk soal kepatuhan terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan, alasan PHK, aspek kemanusiaan, dukungan pascaphk, komunikasi, hingga dampaknya terhadap rasa aman bekerja.
Plt. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Kementerian Ketenagakerjaan RI, Imelda Savitri, mengungkapkan bahwa hingga 31 Oktober 2025, terdapat 2.684 kasus perselisihan hubungan industrial di Indonesia, dan 71,57% atau 1.921 kasus di antaranya merupakan perselisihan PHK. Konflik banyak dipicu oleh kebijakan efisiensi perusahaan akibat kerugian, pailit, atau pesangon yang tidak dibayarkan.
“Perbedaan sudut pandang antara pekerja dan perusahaan sering kali memperuncing perselisihan. Karena itu, Kemenaker mendorong dialog dan kepatuhan terhadap aturan ketenagakerjaan, serta aktif memberikan edukasi terkait praktik dan komunikasi PHK yang adil, transparan, dan humanis,” jelas Imelda.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa pekerja terdampak tidak hanya membutuhkan dukungan finansial, tetapi juga bantuan mencari pekerjaan baru, termasuk akses informasi lowongan.
Koordinator Pengembangan Kemitraan dan Jejaring Pasar Kerja Kemenaker, Sigit Ary Prasetyo, menjelaskan bahwa pemerintah menyediakan berbagai layanan melalui Pusat Pasar Kerja, seperti pendampingan bursa kerja, walk-in interview, serta platform digital Karirhub. Perusahaan juga dapat mengarahkan pegawainya yang terdampak PHK untuk mengikuti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang menyediakan manfaat berupa layanan informasi pasar kerja.
“Harapannya, berbagai fasilitas ini dapat membantu pekerja bangkit dan menemukan peluang baru setelah terdampak PHK,” ujarnya.

