Sumedang – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkomitmen kuat menangani banjir dan longsor di kawasan Bandung Raya melalui langkah-langkah struktural yang lebih masif.
Sejumlah strategi disiapkan, mulai dari evaluasi total rencana tata ruang, penghentian sementara izin pembangunan perumahan di kawasan hijau, hingga relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai.
Pesan tersebut disampaikan KDM sapaan akrab Dedi Mulyadi usai memimpin Rapat Koordinasi Penanganan Banjir Bandung Raya di Kabupaten Sumedang, pada Selasa (9/12). KDM menyoroti pentingnya memulihkan area resapan air. Bandung Raya, yang berada di jalur Sesar Lembang dan rawan bencana hidrometeorologi, membutuhkan perlindungan maksimal terhadap ruang terbuka hijau.
“Kawasan hijau harus dijaga. Semua izin perumahan yang sedang berjalan maupun yang telah terbit akan ditunda untuk dievaluasi tata ruangnya. Kita harus memastikan pembangunan tidak menciptakan risiko lingkungan yang lebih besar di masa depan,” tegasnya.
Menurut KDM, proyek normalisasi sungai atau pembangunan infrastruktur pengendali banjir tidak akan efektif jika alih fungsi lahan di wilayah hulu terus terjadi tanpa pengendalian.
“Banjir tiap tahun tidak akan pernah tuntas kalau rawa, sawah, dan ruang hijau terus ditimbun. Kalau tata ruang tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin Bandung bisa tenggelam,” ujarnya.
Selain persoalan perumahan, Pemprov Jabar juga akan mereformasi pola pertanian di lahan berlereng curam yang selama ini menjadi pemicu longsor, terutama di Bandung, KBB, Garut, Cianjur, dan Bogor.
Lahan pertanian sayur di kemiringan ekstrem akan dikembalikan menjadi area vegetasi berakar kuat. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi warga, para penggarap lahan akan direkrut sebagai tenaga pemerintah.
“Kita akan evaluasi kebun sayur di lereng. Supaya petani tetap mendapat penghasilan, mereka akan kita pekerjakan sebagai tenaga pemerintah dengan tugas merawat tanaman berakar kuat seperti teh, kopi, jengkol, hingga kina,” jelas KDM.
Untuk mengatasi banjir akibat luapan Sungai Citarum dan anak sungainya, KDM memastikan adanya skema relokasi untuk warga yang tinggal di sempadan sungai, terutama di wilayah rawan seperti Bojongsoang dan Dayeuhkolot. Kebijakan ini juga diterapkan secara menyeluruh di Jawa Barat.
“Warga bantaran sungai akan direlokasi. Sungainya diperlebar agar kapasitasnya meningkat. Ini sudah kita sepakati dengan Pemkab Bandung,” ujarnya.
KDM juga mewajibkan setiap pengembang menyediakan fasilitas penampungan air seperti sumur resapan atau danau retensi mini di setiap proyek perumahan.
“Harus ada sumur atau kolam kecil untuk menahan aliran air,” tambahnya.
Anggaran dan Kerja Sama Pemerintah Pusat
Pemprov Jabar memastikan ketersediaan anggaran untuk penanganan bencana dan pemulihan lingkungan. KDM menyebutkan dana sebesar Rp200–300 miliar siap digelontorkan, bahkan bisa ditambah melalui pergeseran anggaran bila diperlukan.
“Kalau untuk urusan lingkungan, kita tidak membatasi. Rp200–300 miliar kita siapkan, dan bisa digeser dari pos lain kalau perlu,” jelasnya.
Evaluasi menyeluruh tata ruang akan dimulai pada Januari 2026. Sebagai tahap awal, KDM akan bertemu Menteri ATR/BPN pada 18 Desember di Gedung Sate. Seluruh kepala daerah di Jawa Barat diwajibkan hadir.
“Semua bupati dan wali kota wajib datang. Kalau tidak mau hadir, ya silakan saja kalau mau disebut ‘Bupati Bencana’,” tegasnya.
Dalam pertemuan itu, Pemprov Jabar juga akan mengusulkan penetapan batas sempadan sungai kepada Kementerian PUPR. Sertifikat hak milik yang ternyata berada di badan sungai akan dicabut untuk kepentingan keselamatan publik.
“Siapa pun pemilik lahannya bukan persoalan utama. Yang penting fungsi ekologisnya harus kembali sebagai resapan atau hutan. Mitigasi harus dilakukan setiap hari, dan provinsi harus peka dengan kondisi lapangan,” ujarnya menutup pernyataan.

