Jakarta – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno mengatakan bahwa fenomena judi online merupakan bagian dari kejutan budaya (shock culture) akibat pesatnya digitalisasi. Ia mengingatkan bahwa 20 tahun lalu, dirinya pernah menulis tentang risiko sosial yang dapat muncul dari kemajuan teknologi digital tanpa batas.
“Menurut data dari PPATK, tercatat sekitar 602 ribu warga Jakarta terlibat dalam aktivitas judi online, dengan total nilai transaksi mencapai Rp3,12 triliun. Ini angka yang sangat mengkhawatirkan,” ujar Rano dalam Talkshow “Podcast on the Spot” di Lapangan Banteng, Sawah Besar, Jakarta Minggu (26/10).
Menurutnya, upaya paling efektif dalam menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya judi online yang dapat merusak kesejahteraan masyarakat. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk melakukan edukasi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Rano juga mengungkapkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah mengidentifikasi ribuan pelaku judi online, di mana sekitar 5.000 di antaranya merupakan penerima program bantuan sosial (bansos) seperti KJP dan KJMU. Ia menyoroti tantangan pengawasan karena kartu ATM bantuan tersebut umumnya dipegang oleh orang tua penerima.
Pemprov, kata Rano, terus berupaya mencari strategi terbaik untuk menekan praktik judi online, termasuk melalui kampanye edukatif. Ia pun mengapresiasi inisiatif Kejaksaan RI yang menggelar kegiatan edukasi publik seperti pameran di Lapangan Banteng.
“Acara seperti ini sangat penting agar masyarakat lebih memahami persoalan hukum dan dampak sosialnya. Kegiatan penyuluhan seperti ini harus sering dilakukan, bahkan bisa digelar di car free day setiap pekan,” ujarnya.
Sementara itu, Plt Jaksa Agung RI, Asep N. Mulyana, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026.
Asep menuturkan, penerapan KUHP baru nantinya akan menekankan pendekatan humanis dalam proses penegakan hukum. Salah satu bentuknya ialah penerapan kerja sosial dan reintegrasi sosial sebagai alternatif hukuman.
“Reintegrasi sosial dan perbaikan perilaku pelaku kejahatan bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat,” tegasnya.

