Jakarta – Fenomena permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) kepada pelaku usaha semakin marak setiap tahun akibat kurangnya tindakan tegas dari pihak berwenang. Diperlukan langkah konkret dari pemerintah serta aparat penegak hukum untuk mengatasi praktik yang berpotensi meresahkan ini.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, tindakan ini mencerminkan bentuk premanisme yang terorganisir. “Mereka memiliki atribut, simbol, dan identitas yang digunakan untuk menekan pelaku usaha,” ujarnya dalam program Beritasatu Sore di Beritasatu TV, Senin (17/3).
Rissalwan menyesalkan fenomena ini yang terus berulang setiap tahun. Ia menilai bahwa praktik tersebut mengandung unsur paksaan, ancaman, dan intimidasi, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai budaya berbagi.
Banyak pengusaha memilih untuk memenuhi permintaan THR tersebut karena khawatir akan mengalami gangguan dalam menjalankan bisnisnya. “Jika ada unsur pemaksaan dan ancaman, ini sudah masuk ke ranah kriminal. Budaya berbagi itu dilakukan dengan sukarela, bukan karena tekanan,” tegas Rissalwan.
Menurutnya, tindakan ini seharusnya bisa dicegah, namun justru semakin meluas dan mengkhawatirkan dunia usaha menjelang hari raya. “Ini terjadi karena adanya pembiaran,” tambahnya.
Ia menilai bahwa sekadar imbauan dari pemerintah daerah, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno, belum cukup efektif. Apalagi, aksi ini bukan dilakukan oleh individu melainkan oleh kelompok terorganisir yang seolah-olah memiliki legitimasi dengan penggunaan kop surat resmi.
Untuk mengatasi hal ini, Rissalwan menyarankan agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan evaluasi berkala terhadap ormas-ormas yang berpotensi meresahkan. Jika ditemukan pelanggaran, pemerintah harus berani mencabut izin atau menghentikan aktivitasnya, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap Front Pembela Islam (FPI).
“Evaluasi berkala sangat diperlukan agar ormas tidak bertindak sewenang-wenang,” ujarnya. Namun, ia menilai bahwa hingga saat ini pemerintah masih belum memiliki parameter yang jelas dalam menilai kontribusi ormas terhadap masyarakat. Evaluasi yang dilakukan selama ini cenderung hanya menyoroti aspek ideologi negara.
“Ormas seharusnya berperan memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan malah menebar ketakutan dan mempersulit pelaku usaha. Ini harus menjadi perhatian dalam kebijakan jangka menengah,” katanya.
Dalam jangka pendek, Rissalwan menekankan pentingnya kepastian hukum. Ketika ada pengusaha atau pedagang yang mengalami ancaman atau intimidasi dari ormas yang meminta THR, aparat hukum harus segera bertindak tanpa menunggu laporan lebih lanjut. “Jangan sampai terjadi pembiaran terhadap praktik premanisme ini,” pungkasnya.