Jakarta – Penerapan teknologi cerdas seperti Artificial Intelligence (AI) di sektor pertambangan dinilai mampu mendorong efisiensi operasional secara signifikan. Namun, tantangan besar masih mengadang, terutama lemahnya infrastruktur jaringan digital di wilayah tambang yang umumnya berada di daerah terpencil.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menekankan perlunya dukungan pemerintah dalam mempercepat pembangunan jaringan konektivitas di area pertambangan.
“Digitalisasi tidak akan berjalan optimal kalau sinyal saja belum tersedia. Kami sangat membutuhkan dukungan infrastruktur dari pemerintah,” ungkap Meidy dalam sesi diskusi bertema Smart Mining dan Green Energy di Hall Adaro Dwipa, Energi Mineral Festival 2025.
Menurut Meidy, pemanfaatan AI dalam industri tambang telah mulai diterapkan, terutama untuk eksplorasi, proses produksi, hingga pelacakan. Teknologi ini terbukti mampu menghemat waktu dan biaya, serta mempermudah analisis data.
“AI sangat membantu dalam memprediksi potensi lahan, mengontrol produksi, dan meningkatkan efisiensi biaya. Bisa dibilang, AI kini seperti tenaga kerja baru di sektor tambang,” tuturnya.
Meski demikian, sambung Meidy, pemanfaatan AI tidak akan maksimal tanpa didukung koneksi internet yang andal. Ia mengungkapkan bahwa banyak wilayah tambang, khususnya di Sulawesi dan Kalimantan, masih mengalami keterbatasan jaringan, bahkan ada yang sama sekali belum terjangkau.
“Banyak lokasi tambang di daerah terpencil yang belum memiliki akses jaringan memadai. Ada yang sinyalnya tidak stabil, bahkan ada juga yang tidak ada sama sekali,” kata Meidy.
Ia pun menegaskan, jika infrastruktur digital tidak segera dibenahi, maka proses transformasi digital di sektor pertambangan akan terhambat. Meidy berharap pemerintah memberikan perhatian lebih pada pembangunan jaringan di kawasan tambang sebagai bagian dari percepatan digitalisasi nasional.