Menjelang tutup tahun 2025, Indonesia tengah menghadapi situasi ekonomi dan politik yang penuh dinamika. Mulai dari demonstrasi besar di sejumlah daerah, perombakan kabinet oleh pemerintah, hingga kebijakan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI). Rangkaian peristiwa ini memicu gejolak pasar keuangan, mengguncang sentimen investor, dan menambah ketidakpastian bagi pelaku usaha lintas sektor.
Dampaknya, banyak bisnis dihadapkan pada tantangan serius: fluktuasi permintaan, perubahan regulasi, hingga keraguan dalam investasi jangka panjang. Dalam kondisi seperti ini, dunia usaha dituntut tetap tenang, adaptif, dan gesit mengambil langkah strategis. Pasalnya, meski gejolak pasar tak bisa dihindari, peluang baru akan selalu tersedia bagi mereka yang jeli membaca arah perubahan.
Berikut beberapa strategi yang bisa menjadi inspirasi agar bisnis tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu tumbuh di tengah ketidakpastian.
1. Jaga Likuiditas & Biaya Keuangan
DBS Group Research mencatat, paruh pertama 2025 ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5% yoy, ditopang jasa bernilai tinggi, impor barang modal, investasi, serta konsumsi saat hari raya. Di semester kedua, pertumbuhan diprediksi tetap positif berkat belanja pemerintah, stabilitas inflasi, penurunan suku bunga, dan masuknya FDI. Proyeksi sepanjang tahun 2025 berada di 4,9%, dan 2026 diperkirakan stabil di kisaran 4,9–5,0%.
Namun, potensi perlambatan tetap ada jika harga komoditas terkoreksi, belanja pemerintah melemah, atau gejolak global meningkat. Karena itu, menjaga likuiditas menjadi kunci. Keputusan BI memangkas suku bunga 25 bps ke level 4,75% membuka ruang pembiayaan ulang utang atau memperkuat modal kerja dengan biaya lebih ringan. Meski begitu, risiko pelemahan rupiah tetap perlu diantisipasi, terutama bagi perusahaan dengan eksposur dolar. Lindung nilai menjadi langkah bijak untuk menjaga stabilitas.
Cadangan kas yang sehat dan menghindari ekspansi berlebihan juga penting agar bisnis tetap fleksibel menghadapi ketidakpastian, sekaligus siap meraih peluang dari stimulus fiskal dan investasi asing.
2. Diversifikasi ke Sektor Resilien
Ketidakpastian global dan fluktuasi harga komoditas membuat beberapa sektor sangat rentan. Namun, sektor jasa, kebutuhan pokok, dan ekonomi digital terbukti lebih tangguh. Menurut DBS Group Research, ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 95 miliar pada 2025, didorong e-commerce, fintech, dan penetrasi teknologi.
Selain itu, program pemerintah berupa kenaikan anggaran perlindungan sosial sebesar 9% pada 2026 serta makan bergizi gratis senilai Rp335 triliun diproyeksikan menjaga stabilitas permintaan kebutuhan pokok.
Bagi pengusaha besar, ini saat yang tepat untuk memperluas portofolio ke sektor yang lebih tahan banting. Investasi ke kebutuhan pokok, layanan digital, hingga infrastruktur teknologi dapat membantu menjaga arus pendapatan sekaligus membuka peluang pertumbuhan jangka panjang.
3. Ikuti Arah Belanja Pemerintah
RAPBN 2026 memperlihatkan arah kebijakan fiskal yang jelas: fokus pada pembangunan manusia, ketahanan energi, kesejahteraan sosial, dan investasi jangka panjang. Pemerintah mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan, Rp402,4 triliun untuk energi, Rp335 triliun untuk program makanan bergizi gratis, serta Rp530 triliun untuk investasi.
Ini peluang besar bagi dunia usaha untuk menjadi mitra strategis pemerintah, misalnya di infrastruktur pendidikan, energi terbarukan, distribusi pangan, hingga layanan penunjang investasi. Mengikuti arah belanja negara akan memperkuat potensi pertumbuhan bisnis sekaligus mendapat dukungan stabil dari arus dana fiskal.
4. Seimbangkan Modal Asing & Domestik
Pergerakan pasar modal Indonesia masih sangat dipengaruhi arus modal asing. Namun, peran investor domestik kini makin penting menjaga stabilitas. Strategi seperti buyback saham atau mendorong partisipasi investor lokal bisa membantu menjaga harga saham tetap solid meski terjadi capital outflow.
Rotasi ke saham dengan fundamental kuat juga diperkirakan lebih berkelanjutan. Menjaga keseimbangan antara ketergantungan pada modal asing dan dukungan domestik akan memperkuat kepercayaan pasar sekaligus daya tahan perusahaan.
5. Antisipasi Fluktuasi Global & Harga Komoditas
Harga energi dan komoditas yang bergejolak memberi dampak langsung pada biaya operasional. Misalnya, harga minyak Brent sempat turun ke USD 67,48 per barel, atau turun 12% sejak Juni 2025. Proyeksi 2026 menempatkan harga Brent di kisaran USD 65–70, sementara harga CPO diperkirakan Rp13.050/kg.
Di sisi lain, The Fed memangkas suku bunga 25 bps pada September 2025, menandai awal pelonggaran moneter. Namun, inflasi global masih berpotensi meningkat akibat stimulus fiskal, permintaan energi untuk AI, hingga pasar tenaga kerja yang ketat.
Untuk mengantisipasi, pelaku usaha dapat mengunci harga bahan baku dengan kontrak jangka panjang agar terhindar dari lonjakan mendadak. Dengan strategi ini, perusahaan bisa menjaga profitabilitas meski pasar global bergejolak.