Aceh – Jumlah kasus perceraian di Aceh mengalami peningkatan signifikan selama semester pertama 2025. Berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah (MS) Aceh, tercatat 2.923 pasangan mengajukan perceraian dalam enam bulan terakhir, dengan mayoritas penggugat berasal dari pihak istri.
Humas MS Aceh, Munir, mengungkapkan bahwa dari total perkara tersebut, sebanyak 2.311 merupakan cerai gugat yang diajukan istri, sementara cerai talak yang diajukan suami hanya berjumlah 612 kasus.
“Lebih dari 70 persen perceraian diajukan oleh istri,” ujar Munir dikutip dari laman berita satu pada Jumat (01/08).
Secara keseluruhan, MS Aceh menerima lebih dari 5.000 perkara sepanjang tahun ini. Selain kasus perceraian, perkara lain yang masuk meliputi sengketa warisan, pembagian harta bersama, serta perkara pidana syariah (jinayat). Namun demikian, perceraian tetap menjadi perkara dominan.
Aceh Utara tercatat sebagai wilayah dengan angka perceraian tertinggi, yakni 372 perkara, disusul Aceh Tamiang dengan 230 kasus.
Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Agustin Hanapi, menilai tingginya angka perceraian berkorelasi erat dengan maraknya praktik judi online.
“Penyebab utamanya adalah banyak suami yang kecanduan judi online,” kata Agustin.
Ia menjelaskan, kebiasaan berjudi membuat banyak suami mengalami kerugian finansial serius hingga tak mampu menafkahi keluarga. Kondisi ini mendorong banyak istri untuk menggugat cerai guna menyelamatkan masa depan anak-anak dan kehidupan mereka.
“Orang yang kecanduan judi online sulit keluar dari lingkaran tersebut. Banyak istri akhirnya memilih bercerai karena tidak tahan menanggung dampaknya,” ujarnya.
Agustin juga menyoroti faktor lain yang turut mempengaruhi tren perceraian, yaitu meningkatnya kemandirian ekonomi perempuan. Menurutnya, banyak perempuan kini merasa lebih percaya diri untuk mengambil keputusan demi kebaikan diri dan anak-anak mereka.
Untuk menekan angka perceraian, Agustin menyarankan agar edukasi dalam keluarga dan materi bimbingan pranikah diperkuat. Ia menekankan pentingnya memasukkan bahasan terkait risiko penggunaan teknologi, media sosial, dan kecanduan judi online ke dalam kurikulum bimbingan calon pengantin.
Selain itu, pernikahan dini juga dianggap sebagai faktor yang memperburuk tingginya kasus perceraian. Pasangan yang menikah di usia di bawah 19 tahun cenderung belum matang secara emosional, sehingga lebih mudah terlibat konflik.
“Kesiapan finansial juga menjadi kunci. Kita harus memiliki penghasilan agar saat menikah tidak justru menyusahkan pasangan atau membawa dampak buruk dalam kehidupan rumah tangga,” pungkasnya.