Jakarta – Micin atau monosodium glutamat (MSG) selama ini sering dikaitkan dengan stigma negatif. Istilah “Generasi Micin” bahkan kerap digunakan untuk menyebut generasi yang dianggap kurang cerdas. Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.
MSG adalah penyedap rasa yang diproduksi dari tetes tebu melalui proses fermentasi alami, serupa dengan pembuatan tempe, kecap, maupun yogurt. Dari proses tersebut, dihasilkan kristal murni hingga 99 persen yang aman dan higienis.
Hasil fermentasi menghasilkan glutamat, salah satu komponen alami pada makanan yang berperan penting bagi tubuh. Glutamat membantu kinerja otak, mendukung sistem imun, merangsang produksi air liur, serta mengatur nafsu makan dan rasa kenyang. Dengan kata lain, MSG tidak hanya menambah cita rasa gurih, tetapi juga memiliki fungsi biologis.
Menariknya, glutamat dalam MSG identik dengan glutamat yang secara alami terdapat pada tomat, keju, jamur, hingga air susu ibu (ASI). Karena itu, tubuh manusia sudah mengenali zat ini sejak lahir. Selama dikonsumsi sesuai takaran, MSG aman digunakan.
“Glutamat dalam MSG sama seperti yang terdapat pada sayuran, buah, dan daging. Jadi tidak ada alasan untuk khawatir selama penggunaannya secukupnya. Bahkan, MSG bisa membantu mengurangi penggunaan garam tanpa mengurangi rasa lezat pada masakan,” jelas nutrisionis Rita Ramayulis, DCN, M.Kes., dalam keterangan pers via liputan6.com, Jumat (26/9).
Monosodium glutamat sendiri merupakan salah satu rasa dasar selain manis, asin, asam, dan pahit. MSG berasal dari asam glutamat—asam amino yang secara alami terdapat dalam berbagai bahan makanan. Bedanya, dalam MSG, glutamat dipadukan dengan natrium sehingga mudah digunakan sebagai bumbu penyedap.
Sejumlah penelitian internasional memperkuat fakta bahwa MSG aman dikonsumsi. Sebuah tinjauan dalam Critical Reviews in Food Science and Nutrition (2019) terhadap ratusan studi menunjukkan, tidak ada bukti konsisten mengenai dampak buruk MSG pada manusia. Keluhan seperti sakit kepala atau gangguan saraf hanya muncul dalam kondisi ekstrem, yaitu saat MSG dikonsumsi dalam dosis sangat tinggi pada perut kosong.
Dalam studi pada hewan, efek negatif memang sempat ditemukan. Namun, penelitian tersebut menggunakan metode yang tidak relevan dengan pola konsumsi manusia, seperti penyuntikan langsung MSG dalam dosis besar.
Selain itu, tubuh memiliki mekanisme alami untuk mengolah MSG. Usus dan hati berperan dalam memproses glutamat, sementara otak terlindungi oleh blood-brain barrier yang mencegah zat berlebih masuk langsung ke sistem saraf pusat.
Lembaga kesehatan dunia seperti WHO, FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS), serta EFSA (Otoritas Keamanan Pangan Eropa) juga menyatakan MSG aman dikonsumsi. EFSA bahkan menetapkan batas asupan harian (Acceptable Daily Intake/ADI) sebesar 30 mg per kilogram berat badan. Artinya, seseorang dengan berat 60 kilogram memiliki batas konsumsi hingga 1.800 mg per hari—jumlah yang jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi harian masyarakat.
Dengan demikian, MSG tidak terbukti berbahaya bagi sistem saraf dan aman dikonsumsi semua kalangan, selama tidak berlebihan. Sama seperti bumbu lainnya, kunci utamanya adalah penggunaan secara seimbang.
“Rasa enak itu penting, tapi lebih penting lagi adalah rasa tenang saat memasak untuk keluarga. Lewat kampanye MSG #YangBenar, kami ingin masyarakat memahami bahwa MSG berasal dari bahan alami dan aman digunakan,” kata Albert Dinata, Head of Marketing PT Sasa Inti.