30.9 C
Jakarta
Sabtu, Juni 21, 2025
BerandaKATA BERITADAERAHPeneliti UGM Temukan 7 Spesies Lobster Baru dari Perairan Papua Barat

Peneliti UGM Temukan 7 Spesies Lobster Baru dari Perairan Papua Barat

Yogyakarta – Peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dalam publikasi ilmiah berjudul “Seven New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae) from Western New Guinea, Indonesia”, yang dimuat di jurnal Arthropoda (kategori Quartile 2), berhasil mengidentifikasi tujuh spesies baru lobster air tawar dari genus Cherax di wilayah Papua Barat. Artikel ini dipublikasikan secara terbuka pada 6 Juni 2025 dan merupakan hasil kolaborasi antara UGM, peneliti independen dari Jerman, serta lembaga riset di Berlin.

“Papua merupakan kawasan dengan kekayaan hayati luar biasa, namun banyak potensi yang belum terungkap. Penemuan ini hanyalah sebagian kecil dari kekayaan alam yang tersimpan di sana,” ujar Dr. Rury Eprilurahman, dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus salah satu penulis dalam penelitian ini, Kamis (19/6).

Melansir dari laman UGM, ketujuh spesies yang ditemukan diberi nama Cherax veritas, Cherax arguni, Cherax kaimana, Cherax nigli, Cherax bomberai, Cherax farhadii, dan Cherax doberai. Spesies-spesies ini ditemukan di wilayah-wilayah terpencil seperti Misool, Kaimana, Fakfak, dan Teluk Bintuni—daerah yang masih memiliki ekosistem air tawar yang relatif murni dan belum banyak terjamah aktivitas manusia.

Proses identifikasi dilakukan dengan pendekatan integratif, memadukan analisis morfologi (ciri fisik) dengan filogeni molekuler menggunakan gen mitokondria 16S dan COI. Metode ini memungkinkan identifikasi yang akurat dan ilmiah. “Kami tidak hanya menilai penampilan fisik dan warna tubuh, tetapi juga membandingkan DNA untuk memastikan keunikannya sebagai spesies tersendiri,” jelas Rury.

Peneliti UGM Temukan 7 Spesies Lobster Baru dari Perairan Papua Barat
Lobster air tawar dari genus Cherax arguni di wilayah Papua Barat. (katafoto/HO/Christian Lukhaup)

Menariknya, sebagian spesimen awal diperoleh dari pasar akuarium hias internasional, dengan nama-nama populer seperti Cherax sp. “Red Cheek”, “Amethyst”, dan “Peacock”. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan satwa eksotik, jika dikelola dengan etis, bisa menjadi pintu masuk bagi penemuan ilmiah. Menurut Rury, kerja sama dengan komunitas penghobi hewan akuatik menjadi sangat penting. Beberapa kolektor lokal bahkan turut membantu pencarian spesimen di alam. “Banyak informasi awal kami justru berasal dari komunitas pecinta lobster hias. Data itu kami tindak lanjuti secara ilmiah dan sistematis,” ungkapnya.

Berdasarkan analisis DNA dan karakter fisik, ketujuh spesies baru ini masuk dalam kelompok Cherax bagian utara (northern lineage), yang sebelumnya hanya mencakup 28 spesies—kini bertambah menjadi 35. Hal ini menguatkan posisi Papua Barat sebagai salah satu pusat evolusi penting bagi genus Cherax, berbeda dari kerabatnya yang ada di Australia maupun Papua Nugini.

Peneliti UGM Temukan 7 Spesies Lobster Baru dari Perairan Papua Barat
Lobster air tawar dari genus Cherax nigli di wilayah Papua Barat. (katafoto/HO/Christian Lukhaup)

Masing-masing spesies memiliki karakter unik, baik dari segi warna tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Salah satunya, Cherax arguni, memiliki warna biru tua dengan belang krem serta capit putih transparan yang khas. Berdasarkan analisis filogeni molekuler, Cherax arguni merupakan kerabat dekat dari Cherax bomberai, namun memiliki jarak genetik yang cukup untuk dikategorikan sebagai spesies terpisah. Penelitian ini menggunakan pendekatan Bayesian dan Maximum Likelihood terhadap data DNA mitokondria, yang menjadi acuan utama dalam menentukan batas antarspesies. “Perbedaan sekuens DNA mitokondria antarspesies bisa mencapai 11 persen, menandakan bahwa mereka telah mengalami isolasi evolusioner dalam waktu lama,” jelas Rury.

Penemuan ini sekaligus menyoroti pentingnya upaya konservasi spesies air tawar di Papua, yang kini mulai menghadapi tekanan dari aktivitas manusia dan degradasi lingkungan. Rury menekankan bahwa banyak dari spesies ini hanya ditemukan di sungai-sungai kecil yang belum terpetakan secara ekologis. Beberapa bahkan hanya ditemukan di satu titik lokasi, menjadikannya sangat rentan terhadap perubahan sekecil apapun. Demi menjaga keberlanjutan, lokasi detail habitat tidak diungkap dalam publikasi. “Kami harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi ilmiah dan pelestarian alam, terutama karena banyak dari spesies ini tinggal di wilayah yang mulai terdampak aktivitas manusia,” tambahnya.

Baca Juga

Pemprov DKI Siap Terapkan WFA untuk ASN, Pramono: Ini Sudah Jadi Kebutuhan

Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan siap...

Viral! Pendakian Ilegal di Gunung Merapi Terekam CCTV, Ini Tindakan Balai TNGM

Yogyakarta- Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengonfirmasi telah...

Bea Cukai Bentuk Satgas Baru untuk Berantas Rokok Ilegal

Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian...

Harga Ayam Hidup Diatur Rp18.000/Kg, Pemerintah Tegas Hadapi Manipulasi Pasar

Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) mengambil langkah untuk menjaga...

Pendekatan Cerdas DBS dalam Kelola Kekayaan: AI, ESG, dan Koneksi Regional


Jakarta - Ketidakpastian global serta situasi geopolitik yang semakin...

Ikuti kami

- Notifikasi berita terupdate

Terkini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini