34 C
Jakarta
Minggu, Juli 20, 2025
BerandaKATA TEKNOTEKNEWSAI dan Disinformasi: Ancaman Baru bagi Demokrasi Digital Indonesia

AI dan Disinformasi: Ancaman Baru bagi Demokrasi Digital Indonesia

Jakarta – Pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan generatif (Generative AI/Gen-AI), hasil riset terbaru dari Luminate dan Ipsos menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai menyadari potensi bahayanya. Namun, banyak dari mereka yang belum memahami betapa mudahnya mereka bisa terpapar disinformasi yang diproduksi oleh AI.

Survei tersebut mengungkap bahwa 75 persen responden percaya bahwa konten buatan AI bisa mempengaruhi opini politik publik. Mayoritas juga merasa bahwa konten semacam ini bisa berdampak pada orang-orang di sekitar mereka (72 persen), bahkan pada diri mereka sendiri (63 persen). Uniknya, dari 33 persen responden yang merasa yakin pendapat politiknya tidak akan berubah, sebanyak 42 persen justru mengaku tidak yakin bisa membedakan mana konten asli dan mana yang dihasilkan oleh AI.

Dinita Putri, pakar tata kelola data dari Luminate, menekankan pentingnya literasi teknologi. “Kami melihat pola serupa di berbagai negara: semakin memahami teknologi AI, semakin besar kesadaran akan risikonya. Di Indonesia, peningkatan kesadaran masyarakat menjadi langkah penting untuk membangun ketahanan terhadap disinformasi. Dan ini tak hanya berlaku bagi generasi digital native, tapi juga untuk seluruh kelompok usia,” jelasnya.

Survei juga menemukan perbedaan menarik dalam persepsi gender. Walaupun pria dan wanita sama-sama merasa cukup yakin bisa mengenali konten AI (70 persen pria, 71 persen wanita), hanya 17 persen wanita yang benar-benar merasa sangat yakin, dibandingkan dengan 30 persen pria. Perbedaan ini bisa mencerminkan kecenderungan wanita yang lebih hati-hati, atau mungkin sebaliknya—pria yang terlalu percaya diri.

Penelitian ini sangat relevan mengingat tingginya aktivitas digital di Indonesia. Lebih dari 90 persen responden menggunakan WhatsApp setiap hari, disusul oleh platform populer lainnya seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. Tingginya tingkat penggunaan media sosial ini, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang cukup soal AI, berpotensi mempercepat penyebaran disinformasi—terutama di negara dengan lebih dari 204 juta pemilih aktif seperti Indonesia.

Organisasi nirlaba ICT Watch yang fokus pada tata kelola internet dan hak digital juga menyoroti pentingnya literasi AI. “Literasi AI menjadi kunci agar masyarakat dapat menggunakan teknologi secara etis, inklusif, dan bertanggung jawab,” ujar Prasasti Dewi, Direktur Program ICT Watch, yang baru meluncurkan Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia.

Prasasti menjelaskan bahwa kerangka ini menekankan nilai-nilai hak asasi manusia dan tiga pilar utama: kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI), serta kesejahteraan dan kondisi sosial ekonomi. “Pemanfaatan AI harus bisa memperkuat suara kelompok rentan dan mendorong keadilan digital, terutama di tengah laju perubahan teknologi yang begitu cepat,” tambahnya.

Isu serupa juga muncul di negara maju seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Lebih dari 70% masyarakat yang memahami AI dan teknologi deepfake menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak AI pada pemilu. Masyarakat di sana juga mulai menuntut pengawasan lebih ketat terhadap data pribadi serta peran platform digital dalam menjaga demokrasi.

Sementara itu, di kawasan Amerika Latin, semakin banyak masyarakat yang mendukung regulasi terhadap AI. Di antara mereka yang memahami teknologi ini, 65 persen mendukung adanya aturan lebih ketat. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pemahaman soal AI, makin tinggi pula kesadaran terhadap potensi dampaknya—baik terhadap integritas pemilu, maupun ketimpangan sosial.

“Riset ini menyampaikan pesan penting: literasi AI sangat krusial untuk menjaga demokrasi. Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet yang sangat aktif perlu memastikan warganya dibekali pengetahuan yang cukup tentang AI. Kolaborasi antar pihak—mulai dari pemerintah, platform digital, lembaga pendidikan, hingga organisasi masyarakat sipil—menjadi kunci dalam membangun kesadaran kolektif,” pungkas Dinita.

Adapun survei ini dilakukan oleh Ipsos terhadap 1.000 responden berusia 21–65 tahun di Indonesia pada 28 November–6 Desember 2024. Penarikan sampel dilakukan secara daring dengan mempertimbangkan proporsi usia, jenis kelamin, wilayah geografis, dan status pekerjaan. Hasil survei kemudian disesuaikan agar mewakili populasi nasional secara umum.

Baca Juga

Ketika AI Meniru Kreativitas Seniman, Ancaman atau Peluang?

Dulu, seni adalah sesuatu yang sakral—lahir dari kedalaman emosi,...

Indonesia Bangun AI Center of Excellence Berbasis Inklusivitas dan Keamanan

Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi)...

Kemenhub: Belum Terverifikasi, Indonesia Airlines Tak Bisa Terbang

Jakarta - Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara...

Knalpot Brong Kini Jadi Monumen, Polisi Ajak Warga Sadar Lalin

Sangihe - Suasana berbeda tampak di Pelabuhan Tua Tahuna,...

KPK Tetapkan 5 Tersangka Korupsi Proyek EDC BRI Rp2,1 Triliun

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima...

Ikuti kami

- Notifikasi berita terupdate

Terkini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini